RENCANA 182 calon jamaah haji tahun 1974 yang hendak menunaikan Rukun Islam kelima tidak pernah terlaksana, manakala pesawat yang mengangkut mereka meledak menabrak tebing sebelum tiba di Tanah Suci. Pesawat milik Martin Air yang mengangkut 182 calon jamaah haji dan 9 awak pesawat kecelakaan sekitar 15 menit sebelum mendarat di lapangan Internasional Bandaranaike, Kolombo, Sri Langka, 4 Desember 1974.
Rabu usai waktu Isya, 4 Desember 1974, 111 warga Blitar, 16 orang dari Lamongan, 50 warga asal Sulawesi Selatan, 2 orang penduduk kota Surabaya, dan 3 dari Kalimantan Timur, terbang dari Bandara Djuanda, Surabaya. Tujuan terakhir mereka adalah Mekah, tetapi pesawat mesti singgah dulu di Srilangka karena harus mengisi dulu bahan bakar. Mereka hendak menunaikan rukun Islam yang kelima, haji.
Saat itu tak ada penerbangan langsung ke Mekkah, sementara Garuda Indonesia Airways harus mencarter maskapai lain karena armada kurang.
Baca Juga:Roy Suryo Laporkan 3 Akun Medsos yang Diduga Edit Stupa Candi Borobudur Menyerupai Wajah JokowiPembunuhan Ibu dan Anak di Subang Belum Terungkap, Rumah Jadi TKP Kondisi Terbengkalai
Pesawat yang disewa Garuda tersebut berangkat dari Surabaya dan mampir ke Kolombo untuk mengisi bahan bakar. Pesawat itu adalah jenis DC-8 55f, produksi McDonald Douglash tahun 1966, milik maskapai Belanda Martin Air.
Di masa itu, tidak ada penerbangan langsung dari Indonesia ke Mekkah. Sehingga Garuda Indonesia harus menyewa maskapai lain karena kekurangan armada.
Menukil pemberitaan Antara, di Srilangka, empat jam sejak pesawat Martin Air itu tinggal landas dari Surabaya, Peerkhan Seiyadu yang saat itu berumur 36 tahun, dikejutkan oleh deru suara pesawat yang lebih keras dari biasanya. Saat itu pukul 8 malam waktu Srilanka, Sieyadu melihat pesawat yang terbang terlalu rendah dari arah timur dan tampak hendak menghindari tebing tinggi berselimutkan kabut.
“Terlambat, tebing tinggi itu tak bisa dihindari. Pesawat itu menabrak tebing, lalu memercikan api, hancur berkeping-keping,” kisah Sieyadu kepada Antara, 36 tahun kemudian, di Maskeliya, Srilangka.
Puncak perbukitan yang ditabrak pesawat adalah kawasan yang belum pernah dicapai orang sebelumnya. Sieyadu menyebut tak ada satu pun korban ditemukan dalam keadaan utuh kecuali jenazah pramugari Belanda yang kondisi tubuhnya sudah sangat mengkhawatirkan.
Beberapa pekan setelah peristiwa tragis dan investigasi mengenai kecelakaan itu rampung, pemerintah Indonesia membangun monumen, sekitar 400 meter dari tebing di mana kecelakaan terjadi. Tebing itu dikenal sebagai puncak kelima dari rangkaian tujuh puncak yang belum pernah ditaklukan manusia. Orang Srilangka menyebutnya “Anjimalai” atau “Seven Virgins.”