Lebih dari itu, pertarungan yang terus menerus untuk memperebutkan kekuasaan sampai pada tahap melahirkan keraton-keraton baru sebagaimana yang terjadi pada Keraton Kasepuhan maupun Keraton Kanoman. Catatan tentang konflik Keraton Kasepuhan menyebutkan dimulai dengan peristiwa meninggalnya Sultan Sepuh I yang disusul dengan pecahnya Kasepuhan menjadi Kasepuhan dan Kacerbonan yang berdiri sejak 1697 sampai dengan 1723 dengan Pangeran Aria Cerbon sebagai pemimpinnya.
Konflik besar dan keruwetan di Kasepuhan lainnya terjadi pada masa Sultan Sepuh Shafiuddin Matangaji (1773-1778). Sementara di Keraton Kanoman, perbedaan orientasi para anak sultan menyebabkan lahirnya Peguron Kaprabonan pada 1679. Berikutnya, antara akhir abad ke-18 hingga paroh pertama abad ke-19 terjadi kecamuk besar di Kanoman hingga melahirkan Keraton Kacerbonan pada 1808. Persoalan suksesi sultan Kanoman bahkan kembali memanas ketika memasuki tahun 2000-an.
Untuk beberapa waktu lamanya, konflik penguasa tradisional di atas masih dibarengi dengan kekacauan ekonomi, wabah penyakit, serta proses perubahan sosial-budaya yang berjalan terus menerus dalam wujud permasalahannya hingga memasuki abad ke-19. Sejajar dengan “kemunduran” yang terjadi pada keraton-keraton Cirebon di atas, VOC yang sudah hadir di Cirebon segera memantapkan intervesinya dan mengambil keuntungan dari intrik-intrik dalam pertentangan di antara para pangeran dan bangsawan. Wakil-wakil VOC dengan semangat menawarkan diri untuk menjadi “pendukung” sekaligus “penengah” pada beberapa perjanjian antarsultan.
Baca Juga:Warning Untuk Elite Politik PDIP , Elektabilitas Ganjar Sudah Menumbangkan Prabowo SubiantoSaat Meliput 3 Orang Jatuh dari Jembatan Cimandiri, Wartawan Jurnal Sukabumi Jadi Korban Penganiayaan di Palabuhanratu
Nyatanya, yang terjadi kemudian adalah segelintir orang sebagai wakil VOC yang memperdaya para pangeran guna menciptakan dominasi dan tercapainya kepentingan mereka. Campur tangan dan aturan-aturan VOC yang terkadang terlihat bias dalam persoalan legitimasi terhadap suksesi pada keraton Cirebon menyebabkan timbulnya situasi yang rumit.
Sampai pada masa Daendels status para sultan menjadi pegawai dan masih diperkenankan memakai gelar sultan tetapi bersifat gelar titular (sementara). Dan pada masa Raffles, para sultan Cirebon dipensiunkan, dianeksasi hingga kasultanan Cirebon dihapus dan mereka hanya dianggap sebagai “pemangku adat” atau informal leader Cirebon (Siddique, 1977: 45).
Salah satu hal yang paling relevan dengan berbagai peristiwa ketidakmulusan suksesi di atas adalah persoalan kepemilikan tanah keraton. Hingga kini, dua hal tersebut—suksesi dan kepemilikan tanah—seolah menjadi dua persoalan yang sama tuanya dengan keberadaan keraton itu sendiri.