KEGADUHAN yang kini sedang terjadi di lingkungan Keraton Kasepuhan (disertai keterlibatan pihak-pihak lain) pada dasarnya adalah rentetan permasalahan keraton pada masa lalu yang berlanjut. Terus direproduksi hingga kini dengan pola yang mirip. Artinya, konflik yang terjadi tidaklah a-historis.
Kita bahkan bisa menelisik jejak kemunculannya sejak beberapa ratusan tahun yang lalu sampai kini. Yang menjadi pembeda peristiwa konfliknya hanya waktu dan pelaku, sementara inti dari persoalan nyatanya tidak pernah jauh dari persoalan politik yang berhubungan dengan suksesi kepemimpinan dan kepentingan ekonomi, persoalan tanah di antaranya.
Suksesi Kepemimpinan dan Persoalan TanahKepemimpinan Kerajaan Islam Cirebon tidak bisa lepas dari sosok Sunan Gunung Jati. Sebagai pemegang otoritas politik dan keagamaan, Sunan Gunung Jati nyatanya ditempatkan oleh pemeluk Islam pada posisi yang sangat terhormat. Kepemimpinannya secara umum dipandang kharismatik sekaligus menyebar hingga ke kelompok beragam tanpa menimbulkan konflik berarti.
Baca Juga:Warning Untuk Elite Politik PDIP , Elektabilitas Ganjar Sudah Menumbangkan Prabowo SubiantoSaat Meliput 3 Orang Jatuh dari Jembatan Cimandiri, Wartawan Jurnal Sukabumi Jadi Korban Penganiayaan di Palabuhanratu
Sampai dengan paruh kedua abad 17, melalui pemimpin Kerajaan Islam berikutnya, yakni Penembahan Ratu (Cicit Sunan Gunung Jati) kedaulatan kerajaan dan wibawa keagamaan Sunan Gunung Jati masih berdiri kokoh.
Tanda-tanda perubahan radikal terjadi sejak meninggalnya Panembahan Girilaya di Mataram. Sekaligus menandai berakhirnya kerajaan Islam Cirebon yang nantinya diikuti berbagai perubahan politik secara signifikan, utamanya persoalan perpecahan kerajaan.
Memasuki akhir 1677, bertempat di Banten, ketiga putra Panembahan Girilaya (Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta) dilantik oleh Sultan Ageng Tirtayasa sebagai tiga penguasa Cirebon: (1) Pangeran Martawijaya sebagai Sultan Kasepuhan dengan gelar Sultan Muhamad Samsudin. (2) Pangeran Kartawijaya sebagai sultan Kanoman dengan gelar Sultan Muhamad Badridin, dan (3) Pangeran Wangsakerta sebagai Panembahan Cirebon (Dagh Register 1678: 58).
Hal ini berarti pada abad ke-17 Kerajaan Islam Cirebon pecah menjadi dua keraton dan satu peguron yang saling berdampingan yang berakibat pada, meski satu “Cirebon”, tanpa terasa para pangeran Cirebon pada waktu itu membentuk satu kesatuan yang lemah dan berdampak pada perubahan kewajiban, kekuasaan, hak, fungsi, serta mengancam stabilitas keseimbangan kekuasaan di Cirebon. Lokus yang paling mendesak dari persoalan ini adalah munculnya pemimpin-pemimin baru disertai dengan ketegangan yang tidak pernah sepenuhnya tercairkan. Yakni persoalan suksesi kekuasaan, perebutan pengaruh dan wibawa, serta hak-hak masing-masing pangeran mencakup wilayah atau tanah.