SATU dekade sejak menginjakkan kaki di kota wali Cirebon. De Cheribonsche Ounlsten van 1818, Naar Oorpronkelijke Stukken salah satu buku pertama yang saya temui, merupakan catatan-catatan asli P. H Van der Kemp, dan di Tahun 1979, buku tersebut diterjemahkan oleh B. Panjaitan dengan judul “Pemberontakan Cirebon Tahun 1818” yang diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan Idayu.
Neerlandosentris, buku De Cheribonsche Ounlsten van 1818, Naar Oorpronkelijke Stukken berisi tentang kejadian yang terjadi di Cirebon menurut sudut pandang kolonial Belanda. P. H. Van der Kemp menganggap bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh golongan pribumi akan mengganggu kekuasaan Belanda di Cirebon.
Begini isinya?
Pemerintahan raja-raja di Cirebon dari zaman VOC menjadi sumber kemelaratan dan kekacauan. Oleh karena itu, pada tahun 1792, J. L. Umbgrove selaku residen berpendapat: Dipandang perlu untuk mengurangi jumlah pangeran dan ratu (mereka itu tidak berperikemanusiaan dan tak dapat dipakai) dan mengubah fungsi mereka menjadi abdi masyarakat. Dengan begitu diharapkan negeri itu tidak lagi dihisap habis-habisan dan dapat memperoleh lebih banyak berkat demi kepentingan penduduknya.
Baca Juga:Aliansi Masyarakat Cirebon Peduli Sejarah dan Marwah Leluhur Ingatkan Heru Rusyamsi Kembalikan 2 Kitab, Sketsa Pintu Utama Goa Sunyaragi dan Denah Masjid Agung Sang Cipta RasaAliansi Masyarakat Cirebon Peduli Sejarah dan Marwah Leluhur: Heru Rusyamsi Tidak Berhak Menyandang Gelar Sultan
Dahulu ada dua orang sultan yang masing-masing mempunyai daerah yang terpisah. Tidak lama sesudah pembagian atas wilayah Kesultanan Kesepuhan dan Kanoman itu, maka pada tahun 1473 bertambah lagi satu, yaitu Kesultanan Kacirebonan. Pemerintahan Raffles yang menggantikan tangan-besi Daendels telah menghapuskan ketiga penguasa tersebut. Gelar kesultanan dan turunannya tetap diakui, para sultan juga diberi pensiun.
Keadaan para sultan yang diturunkan Raffles itu menimbulkan rasa tak puas, baik mengenai pengakuan atas gelar kerajaan maupun tentang tunjangan yang sangat terbatas bagi orang-orang keturunan sultan yang tak punya pekerjaan tapi bersikap boros.
Dengan surat tanggal 2 Juni 1818 No. 44 residen menyampaikan dua pucuk surat dari Sultan Sepuh dan Sultan Anom kepada gubernur jendral yang berisi satu permohonan: “Karena mereka berkewajiban memelihara keluarga sedang pendapatan mereka tak mencukupi untuk itu, agar hidup mereka dapat kiranya diperbaiki dengan jalan menambah tunjangan pensiun yang ada sekarang ini”.
Dengan surat keputusan tanggal 16 berikutnya No.4, permohonan itu dikirim kembali kepada residen dengan catatan: “agar memberitahukan dan membuat perhitungan terperinci tentang segala sesuatu yang diperlukan oleh kedua sultan tersebut, beberapa mereka terima dahulu-Sultan Anom dan Sultan Sepuh dan beberapa sekarang, disertai pertimbangan secukupnya”.