Selain adanya gugatan sekelompok orang yang dituduh makar yang ingin agar kata “asli” dihidupkan kembali juga adanya undang-undang yang bertentangan misalnya hukuman mati, sesuai
dengan Pasal 28 huruf i UUD 1945 menyatakan pengakuan hak hidup namun dalam UU KUHP masih menerapkan hukuman mati.
Demikian pula UUD juga tidak statis, kita memilik pengalaman amandemen UUD 1945. Sudah saatnya UUD 1945 dilakukan perubahan secara radikal untuk mengakomodir agar adanya kepastian kepentingan golongan minoritas dalam eksistensi republik ini.
Baca Juga:Kasus Covid-19 Melonjak Lagi, Berikut Sebaran 574 Kasus Baru di IndonesiaAAJI Catat Klaim Asuransi untuk Kasus Covid-19 Tembus Rp9 Triliun
Bhinneka Tunggal Ika ini hanya hanya adagium yang dimaknai secara simbolik, tetapi tidak substansial. Pengakuan keanekaan secara simbolik tidak disertai dengan kebijakan yang berbhinneka.
Ketika presiden menunjuk menteri, 28 orang dari 34 di antara berasal dari 1 suku, yaitu Jawa. Maka sejatihnya tidak melaksanakan atau mewujudkan bangsa pelangi atau bhinneka.
Bhinneka adalah bangsa pelangi karena itu tidak tepat kalau disebut Ika atau Tunggul, pengakuan secara faktual bahwa kita berbangsa multi etnik dan multi minoritas adalah sesuatu ada (being).
Kenyataan hari ini menyaksikan bangunan kebhinekaan bangsa rapuh bahkan nyaris tuntuh, saatnya mesti belajar mengakui adanya fakta bangsa ini memang berbeda-beda.
Semua riuh rendah dan riak-riak di bangsa ini tidak jatuh dari langit. Ada akar historisnya dan ironisnya persoalan-persoalan ini muncul ketika bangsa ini memilih Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhinneka Tinggal Ika menjadi pilar-pilar bangsa yang konstan tanpa membuka ruang menampung nilai-nilai baik yang lahir, timbuh dan berkembang di negeri ini.
Termasuk Hukum Syariah, Khilafah dan Khalifah sebagai komplementer untuk melengkapi cara pandang, pemikiran dan tindakan berbangsa dan bernegara.
Sampai kapan pun bangsa ini akan bermasalah ketika penetrasi Islam transnasional begitu kencang berkembang pada mayoritas, namun negara menutup ideologi, dogmatika agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia.
Baca Juga:Mantan Sekretaris BUMN Said Didu Bongkar Jalan Mulus Duet Ganjar-ErickNaiknya Elektabilitas Erick-Ganjar, Pengamat: Ada Dugaan Permainan Para Taipan-Oligarki
Kita telah mengalami kemunduran tidak hanya dalam pembangunan fisik tetapi yang terpenting adalah pembangunan manusia. Empat tahun lalu, kata Nawacita begitu magnet dan membahana seantero nusantara.
Sejak tahun 2016, Jokowi gugup mengucapkan kata Nawacita” dan tenggelam di hamparan lautan nusantara. Kegagalan terbesar bangsa ini adalah gagal menemukan pemimpin yang berpikir (ontologis), mampu menerjemahkan (epistemologis) dan juga bisa mendeliver menjadi nyata (aksiologis).