Demikian pula kemanusiaan yang adil dan beradap, istilah “adil dan beradab” itu kata kerja, bukan kata sifat sehingga tidak tepat dimasukan sebagai falsafah hidup (filosofiche groundslack), demikian pula persatuan Indonesia tercerai-berai dalam sektarianisme dan etnisitas, adalah fakta sosial yang tidak bisa ditutupi atau disembunyikan bahwa ada Islamophobia, Kristen phobia, Papua phobia, Jawa phobia, Bali phobia sudah mulai tumbuh kembang dan menjamur di mana-mana.
Persoalan permusyawaratan, sistem pemilu sekarang promosional terbuka adalah sistem winers takes all, pemenang ambil semua, tidak tepat karena adanya fakta bangsa kita persebaran penduduk yang tidak seimbang.
Jawa masih dominan dari suku lain, maka bukan tidak mungkin presiden melalui pemilihan dan juga legislatif pasti didominasi oleh mayoritas di negeri ini. Ini yang namanya kekuasaan berpusat pada satu suku.
Baca Juga:Kasus Covid-19 Melonjak Lagi, Berikut Sebaran 574 Kasus Baru di IndonesiaAAJI Catat Klaim Asuransi untuk Kasus Covid-19 Tembus Rp9 Triliun
Problem saat ini kurangnya distribusi kekuasaan (disturibution of power) yang berdampak pada distribusi keadilan (distribution of justice), maka ada benarnya jika keadilan hanya berpusat pada sekelompok oligarki politik juga ekonomi pada kelompok pemenang ini.
NKRI itu hanya sebuah bentuk bangunan negara bangsa, bentuk negara ini sama dan ibarat nomenklatur yang termasuk bangunan sosial, bangunan sosial bersifat dinamis bukan statis dan kaku, sebagaimana sistem sosial yang selalu berubah.
NKRI itu juga bisa berubah, sangat ironis seluruh dunia negara kesatuan itu dibentuk jika; luas wilayahnya kecil, negara kontinental (daratan), penduduknya homogen, kekuasaan terpusat.
Kalau bangsa kita jelas bahwa wilayah negara ini terlalu luas, negara maritim, penduduk heterogen, dan pemerintahan demokratis, inilah yang namanya contradictio in terminis.
Sudah saatnya kita harus formulasi ulang tentang NKRI dengan bentuk negara federasi atau serikat. Bangsa Aceh bisa mengatur dan mengurus diri sendiri, Sumatera Utara, Kalimantan, Sulawesi dan Bali, NTT dan lain-lain.
UUD 1945, sebagai landasan konstitusional tidak dapat diterapkan dan tidak relevan lagi dengan kondisi kekinian bangsa Indonesia.
Kalau kita cermati sebagai landasan konstitusional tidak mampu menjadi pijakan para pembuat undang-undang, berbagai pasal di batang tubuh yang bertentangan dengan berbagai peraturan perundangan yang dihasilkan saat ini.