Sepulang dari ibadah haji, Walangsungsang berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman, dan membangun sebuah tajug yang kemudian dikenal sebagai mesjid tertua di Cirebon, yaitu tajug Jalagrahan. Setelah Ki Kuwu Caruban yang pertama meninggal dunia, Raden Walangsungsang yang juga disebut Ki Cakrabumi, diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua dengan gelar Pangeran Cakrabuana. Setelah kakeknya, yaitu Ki Gedeng Tapa, yang juga bergelar Ki Gedeng Jumajan Jati yang menguasai pesisir utara dan masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda, meninggal, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan ia tetap sebagai Kuwu Cirebon, ia lalu mendirikan istana Pakungwati dan menyusun bentuk pemerintahan di Caruban serta membentuk angkatan perang.
Ketika Walangsungsang mendapat warisan harta dari kakeknya, Ki Jumajanjati, penguasa wilayah Singapura, kekuasaannya semakin besar. Kekuasaan atas Cirebon yang semakin besar itu kemudian diserahkan kepada Syarif Hidayatullah, keponakannya, yang datang dari tanah Arab dan bermukim di Gunung Sembung. Walangsungsang menjadi pendukung dan penasehat Syarif Hidayatullah sampai wafatnya pada tahun 1529 dan dikuburkan di Gunung Sembung.
Menurut Soemarsaid Moertono, dalam tesisnya “Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau”, para penulis babad, dihadapkan kepada keganjilan bahwa ada dua dinasti (yaitu Cirebon dan Banten) yang tidak memiliki pertalian dengan dinasti sebelumnya (Pajajaran), dengan berbagai akal menghubungkan mereka dengan raja-raja lama Pajajaran hanya dengan membayangkan saja bahwa seorang putra dan seorang puteri salah seorang Raja Pajajaran terakhir telah dikirim ke Arab, …”
Baca Juga:Raden Achmad Opan Safari Hasyim: Saya Diundang ke Israel, Telusuri Nama Sunan Gunung Jati dengan nama Syaikh Israel Ibnu MaulanaMUI: Jenazah Eril Tetap Dimandikan dan Disholatkan Jika Kondisinya Baik
Ini disebutnya sebagai usaha legitimasi kekuasaan Sunan Gunung Jati, yang disebut sebagai pendatang, agar diterima oleh masyarakat di bekas kekuasaan Raja Pajajaran dan juga sah sebagai penyebar Islam. Menurut De Graaf, Syarif Hidayatulllah, lebih dapat diterima sebagai seorang ulama asal Pasei, yang datang ke Demak karena Pasai waktu itu dikuasai Portugis
Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, disebutkan bahwa tokoh dari Pasai itu bernama Fadhillah Khan, menantu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dalam penelitian Dadan Wildan, ternyata di Pemakaman Raja-raja Cirebon itu, ada dua makam, yaitu makam Sunan Gunung yang berdampingan dengan makam Fadhillah Khan yang disebut juga makam Tubagus Pasai. Namun, belum bisa dipastikan benar apakah Falatehan atau Fatahillah ini sama dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati ataukah Faletehan ini adalah menantu Sunan Gunung Jati karena belum ditemukannya sumber primer tentang kedua tokoh ini.