Tapi semua rencana tersebut tak pernah mewujud. “Tak ada yang dilaksanakan,” catat Heuken.
Sebuah rencana penataan Koningsplein mengemuka lagi ketika pengelolaan lapangan tersebut berada di bawah Pemerintah Indonesia. Saat itu nama Koningsplein berubah jadi Lapangan Merdeka, sesuai dengan nama jalan di empat sisi luar lapangan tersebut.
Sukarno menghendaki wajah baru Lapangan Merdeka. Sebuah taman besar dengan empat ruas boulevard di sisi luar, jalan diagonal di sisi dalam, dan tugu monumental di tengah lapangan serupa Menara Eifel di Paris, Prancis. Itu berarti segala bangunan di sisi dalam lapangan harus rata tanah. Salah satunya Stadion Ikada, tempat penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional ke-2 pada 1951.
Baca Juga:BNPT Minta Maaf Salah Sebut Abdul Qadir Hasan Baraja Pendiri Ponpes Islam Al-Mukmin NgrukiRatusan WNA Asal China Tiba di Bandara Soekarno Hatta, Begini Penjelasan Imigrasi
“Lapangan merdeka sebagaimana diketahui luasnya lebih kurang 100 hektar bila telah dikosongkan sama sekali. Memang pengosongannya tidak lama lagi akan dimulai yaitu untuk pembuatan jalan-jalan diagonal dari tengah lapangan ke keempat sudut lapangan,” tulis Star Weekly, 17 Juni 1961.
Kehendak Sukarno mulai terlaksana pada 1962. Stadion Ikada dibongkar dan sayembara pembuatan tugu diumumkan. Lapangan Merdeka perlahan kosong. Aktivitas olahraga pindah ke wilayah Senayan. Tetapi pembangunan tugu justru selesai ketika kekuasaan Sukarno berakhir pada 1968. Tugu itu bernama Monumen Nasional (Monas).
Tetapi lapangan itu tak lantas menjadi taman besar. Setelah kekuasaan Sukarno berakhir, pembangunan sisi dalam lapangan justru kian marak. Taman Ria berdiri di sisi dalam bagian barat-daya pada 1969. Pasar Gambir hidup kembali di sisi dalam bagian selatan, tetapi namanya menjadi Pekan Raya Jakarta (PRJ). Tenda-tenda, warung pedagang kaki lima, taksi, dan bus juga turut menyesaki lapangan tersebut.
Keruntuhan Orde Baru melahirkan kebiasaan baru warga: berdemonstrasi di depan Istana Merdeka, kantor dan tempat tinggal Presiden. Maraknya demonstrasi mengkhawatirkan Sutiyoso, Gubernur Jakarta 1997–2007. Dia memagari lapangan Monas untuk menjaga wilayah tersebut dari kerusakan. Kendaraan bermotor tak bisa lagi melintasi jalan diagonal. Aspal jalan diubah konblok untuk menyokong kebutuhan pejalan kaki.
“Efek sampingan dari tindakan itu baik: Lapangan luas menjadi bersih, ditanami berbagai jenis pepohonan dan tetap dapat dinikmati pejalan kaki dengan aman,” terang Heuken.