Gubernur Jenderal juga bertempat tinggal di sekitar Koningsplein (sekarang bangunan itu menjadi Istana Negara). “Karena gubernur-jenderal mulai tinggal di Istana Negara (1818), maka beberapa instansi pemerintah dan kantor perusahaan besar mulai dibangun di pinggir lapangan luas ini sejak awal abad ke-19,” tulis Adolf Heuken dalam Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta.
Wajah Koningsplein berubah drastis memasuki paruh pertama abad ke-20. Ia tak lagi padang rumput hijau nan luas. Peta milik Topographische Inrichting Batavia pada 1918 dan revisinya pada 1921 menunjukkan kehadiran lapangan olahraga berbentuk oval di sisi dalam bagian timur. Juga tampak beberapa taman kecil dan bioskop (Deca Park) di sisi dalam bagian barat. Rel dan stasiun kereta api (sekarang menjadi Stasiun Gambir) muncul di sisi luar bagian timur
Luas lahan hijau di Koningsplein semakin mengecil memasuki 1930-an. Pemerintah Kolonial mendirikan bangunan baru semi permanen untuk menggelar pasar malam tahunan tiap Agustus untuk merayakan kelahiran Ratu.
Baca Juga:BNPT Minta Maaf Salah Sebut Abdul Qadir Hasan Baraja Pendiri Ponpes Islam Al-Mukmin NgrukiRatusan WNA Asal China Tiba di Bandara Soekarno Hatta, Begini Penjelasan Imigrasi
Semua pembangunan di sisi dalam itu melenceng dari rencana penataan Koningsplein. Rencana penataan terawal karya C. Deeleman pada 1878 memperlihatkan sisi dalam bagian barat lapangan akan diisi oleh sejumlah rumah.
Terdapat pula rencana pembuatan jalan setapak dari empat sisi tampak melingkar menuju sisi dalam lapangan. Di tengah lingkaran itu nantinya akan berdiri sebuah monumen.
Rencana penataan kedua Koningsplein keluar pada 1892. Dr. M. Treub, perancangnya, mengajukan empat jalan menyilang tanpa pohon. Masing-masing dari sisi terluar lapangan, menuju sisi dalam bagian tengah.
Empat jalan itu akan bertemu di tengah dan membentuk lingkaran. Di pusat lingkaran, Treub berencana membangun air mancur. Dia tak memasukkan bangunan apapun di sisi dalam lapangan demi membuat aliran udara tetap lancar dan tidak menghalangi pemandangan.
Ketika sisi dalam Koningsplein kian semrawut dengan berbagai bangunan pada 1930-an, Pemerintah Kotapraja (Gemeente) Batavia menugaskan Biro Karsten, Lutjens, en Toussaint di Semarang untuk menata ulang.
Gemeente meminta kehadiran gedung balaikota di sisi dalam Koningsplein. Biro Karstens, Lutjens, en Toussaint menempatkan gedung itu di tengah lapangan. Rencana Biro itu juga memuat penambahan pepohonan dan pembuatan boulevard baru untuk kendaraan bermotor di sekitar stasiun kereta api.