PADA 1974, kasus menimpa Rey Hanityo, pemimpin redaksi majalah POP. Majalah POP, tahun II, nomor 17, Oktober 1974, memuat artikel berjudul “Teka Teki Sekitar Garis Silsilah Suharto”, yang mengisahkan Soeharto keturunan kesultanan Yogyakarta, dari garis Sultan Hamengku Buwono II.
Artikel tersebut juga menerangkan, ketika Soeharto masih kanak-kanak, dia dititipkan oleh ayahnya, Raden Rio Padmodipuro, kepada petugas pengairan desa di Desa Kemusuk, Kartoredjo.
Merasa tersudut, Soeharto memerintahkan orang kepercayaannya, G. Dwipayana, untuk membantah tulisan di POP, dan memuat bantahan tersebut di majalah dan suratkabar harian terbitan Jakarta.
Baca Juga:Istana Negara: Dari Kawasan Elit Belanda Pribumi Dilarang Masuk hingga Istana Rakyat Bung KarnoTugu Monumen Nasional di Lahan Bekas Koningsplein
Soeharto kemudian mengumpulkan wartawan di Bina Graha, kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada 28 Oktober 1974.
“Di depan wartawan luar dan dalam negeri, saya beberkan, saya bukan seseorang dari kalangan ningrat. Saya hadapkan dalam pertemuan dengan wartawan-wartawan itu beberapa orang tua, saksi-saksi yang masih hidup, yang mengetahui benar silsilah saya,” kata Soeharto dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.
Soeharto mengatakan, ingatan soal silsilah keluarganya dikisahkan oleh Mbah Kromodiryo, seorang dukun beranak yang menolong ibunya melahirkan. Berdasarkan penuturan Mbah Kromo itu, Soeharto mengatakan ia lahir pada 8 Juni 1921 di Desa Kemusuk, Argomulyo, Godean, Yogyakarta. Ibunya bernama Soekirah. Ayahnya bernama Kertosudiro, seorang petugas desa pengatur air.
“Beliau yang memberi nama Soeharto kepada saya,” kata Soeharto. “Saya adalah anak ketiga. Dari istri yang pertama beliau mempunyai dua anak.”
Soekirah dan Kertosudiro kemudian bercerai. Soekirah menikah lagi dengan Atmopawiro. Dari pernikahan ini, ia memiliki tujuh anak –salah satunya Probosutedjo. Kertosudiro pun kawin lagi dan mendapatkan empat anak.
“Tak terkira sebelumnya, bahwa pada suatu waktu di hari tua saya, saya mesti menjelaskan silsilah saya karena ada yang menulis yang bukan-bukan di bulan Oktober 1974 di sebuah majalah,” ujar Soeharto.
Para pembantu presiden pun memberikan reaksi. Dilansir Kompas, 26 Oktober 1974, Menteri Penerangan Mashuri memberi peringatan keras kepada majalah POP untuk menghentikan penulisan artikel selanjutnya. Menteri juga meminta redaksi menarik kembali tulisan yang sudah dimuat disertai permintaan maaf kepada presiden.