Pada tahun-tahun berikutnya, Paleis Rijswijk selalu dijadikan tempat pengambilan keputusan penting terkait tanah jajahan. Rapat-rapat yang menguraikan rencana ekspedisi militer Jenderal de Kock menumpas perlawanan Pangeran Diponegoro diadakan di gedung tersebut. Selain itu, sistem tanam paksa yang berlangsung selama hampir setengah abad dari tahun 1840 hingga 1870 juga dirumuskan di tempat ini.
Sejak tahun 1848, Paleis Rijswijk mengalami perombakan besar-besaran. Setelah hampir setengah abad berlantai dua, istana ini direnovasi menjadi satu lantai. Menurut catatan yang dirangkum dalam buku Presidential Palace of Indonesia (2014: hlm. 48), Istana Gubernur Jenderal diperlebar dengan tambahan serambi serta ruangan-ruangan baru di sayap timur dan barat.
Pada 1873, Paleis Rijswijk dianggap sudah tidak mampu lagi menampung aktivitas pemerintahan yang semakin padat. Maka di tahun yang sama, istana baru yang lebih megah dibangun di belakang Paleis Rijswijk dengan biaya mencapai 360 ribu gulden. Kedua istana juga tidak lagi digunakan sebagai kediaman resmi Gubernur Jenderal, sebab dipindahkan ke Bogor sejak 1870 sampai 1942. (*)