Kawasan yang masih rindang ini kemudian ditetapkan sebagai kediaman baru orang-orang Belanda totok. Mereka memilih meninggalkan Benteng Batavia yang dinilai telah sesak dan tidak layak huni. Sampai tahun 1730, sudah ada sekitar 10 ribu sampai 15 ribu orang berdiam di kawasan ini.
Susan Blackburn dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun (2011: hlm. 57-58) menjelaskan bahwa penyebaran penduduk Belanda ke luar Benteng Batavia terjadi akibat buruknya sistem drainase kota. Pertambahan populasi berkontribusi terhadap penyumbatan kanal yang berdampak pada banjir besar di musim hujan. Kemunduran Kota Batavia semakin dapat dipastikan semenjak wabah penyakit malaria mulai tidak terkendali pada pertengahan abad ke-18.
Sejak tahun 1767, Weltevreden tidak lagi sekadar menjadi tempat peristirahatan luar kota bagi orang-orang Belanda. Kawasan tersebut dengan cepat menjelma menjadi permukiman, pusat bisnis, dan lokasi tamasya. Pembangunan yang sebelumnya tidak terarah, mulai menjadi perhatian pejabat VOC.
Baca Juga:Tugu Monumen Nasional di Lahan Bekas KoningspleinBNPT Minta Maaf Salah Sebut Abdul Qadir Hasan Baraja Pendiri Ponpes Islam Al-Mukmin Ngruki
Weltevreden sempat berfungsi sebagai kawasan semi pemerintahan setelah Gubernur Jenderal Petrus van der Parra membeli rumah di lokasi yang sekarang menjadi Lapangan Banteng. Beberapa puluh tahun kemudian, Gubernur Jenderal Pieter van Overstraten melampaui jejak van Der Parra dengan berusaha membangun Kota Batavia Baru. Ia memindahkan pusat pemerintahan sekaligus basis militer VOC dari Benteng Batavia ke Weltevreden.
Pada saat bersamaan, di Weltevreden juga tengah dibangun sebuah tempat peristirahatan mewah di Rijswijk oleh pengusaha Belanda bernama Jan Andries van Braam. Bangunan mentereng bertingkat dua dengan sejumlah tiang peyangga itu dibangun pada tahun 1796, bertepatan dengan tahun pelantikan van Overstraten menjadi Gubernur Jenderal.
Menurut Jean Gelman Taylor dalam The Social World of Batavia: European and Eurasian in Dutch Asia (1983: hlm. 105), van Braam dikenal sebagai sosok yang “licin.” Terlahir sebagai anak dari kapten kapal dagang, ia berhasil memikat hati putri seorang komandan VOC di Pasuruan dan naik ke tampuk kekuasaan.
Sebagai pengusaha, ia juga piawai memenangkan hati banyak pejabat pemerintahan asing ketika Pulau Jawa menjadi pusat sengketa bangsa Eropa pada transisi abad ke-19. Salah satunya adalah Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal yang memerintah Hindia Belanda atas nama Prancis.