“ISTANA Presiden adalah pinjaman dari rakyat, sehingga Istana Presiden adalah Istana Rakyat,” demikian kata Dullah, pelukis Istana Presiden pertama yang bertugas pada tahun 1950-1960. Dullah merupakan orang yang berjasa mendandani Istana Presiden di seluruh Indonesia dengan lukisan-lukisan koleksi Presiden Sukarno.
Menurutnya, seperti disampaikan oleh pengamat seni Agus Dermawan T dalam Dari Lorong-lorong Istana Presiden (2019: hlm. 3), perubahan simbolis Istana Presiden menjadi Istana Rakyat timbul setelah Sukarno menyampaikan pidato di Istana Presiden di Jalan Rijswijk (sekarang Jalan Veteran) pada pengujung bulan Desember 1949.
Di tengah gemuruh suara rakyat, Sukarno berdiri di undakan tertinggi sambil mengajak mereka untuk mengambil kembali Istana Kepresidenan dan menamainya dengan Istana Negara serta Istana Merdeka. Taufik Abdullah dalam Indonesia: Towards Democracy (2009: hlm. 184) menyebutnya sebagai bentuk romantisasi yang sengaja dilakukan Sukarno atas kembalinya pemerintah Indonesia dari Yogyakarta ke Jakarta.
Baca Juga:Tugu Monumen Nasional di Lahan Bekas KoningspleinBNPT Minta Maaf Salah Sebut Abdul Qadir Hasan Baraja Pendiri Ponpes Islam Al-Mukmin Ngruki
Rencana membuka lebar-lebar pintu Istana Kepresidenan terlaksana pada tahun 1957. Kendati demikian, status tertutup Istana Negara dan Istana Merdeka tidak pernah berubah. Sejak masa pemerintahan Sukarno hingga kini, dua bangunan bekas kantor pemerintah kolonial Belanda itu memang tidak memungkinkan dijadikan tontonan rakyat.
Sebelum Hindia Belanda terbentuk pada tahun 1800, baik Istana Negara maupun Istana Merdeka sangat jauh dari kesan merakyat. Kedua istana putih ini berdiri di kawasan elite Belanda yang tidak boleh dimasuki oleh orang pribumi. Bahkan sejak era pemerintahan Gubernur Jenderal VOC, Pieter van Overstraten (1796-1801), wilayah di sekitar istana sudah berubah menjadi pusat pemerintahan dan basis militer.
Kali Ciliwung sangat berkesan bagi orang-orang Belanda di negara koloni. Aliran airnya tenang, jernih, dan diapit bibir sungai yang lebar. Suasana ini mengingatkan mereka kepada kanal-kanal di Amsterdam.
Pada pertengahan abad ke-18, Belanda mulai membangun rumah-rumah singgah bergaya Eropa di pinggir Kali Ciliwung. Pembangunan dipusatkan di sebelah selatan Benteng Batavia (sekarang Kota Tua) seiring berdirinya dua pasar besar di Senen dan Tanah Abang pada 1733. Orang-orang Belanda menjuluki kawasan ini dengan sebutan Weltevreden yang bermakna “tempat yang memuaskan.”