Pancasila 18 Agustus 1945 itu adalah kompromi dari kelompok Nasionalis dengan kelompok Agamis terutama kelompok Islam. Pancasila itu lahir dari kesepakatan bersama antara paham Nasionalis dengan paham Agamis Islam.
Tapi saat ini seolah Pancasila hanya menjadi milik kaum yang merasa dirinya Nasionalis. Bahkan Pancasila digunakan sebagai alat pembenaran untuk menggebuk, dan yang digebuk justru dari kalangan agamis yang dulunya adalah bagian dari kompromi lahirnya Pancasila.
Era Soeharto, Pancasila digunakan sebagai pembenaran menggebuk yang berbau Komunis.
Sekarang di era Jokowi, Pancasila lebih banyak dibenturkan dan dihadap-hadapkan dengan kaum Agamis Islam. Ini tidak sehat dan tidak baik. Yang merasa dirinya nasionalis tidak boleh merasa bahwa dirinyalah Pancasila.
Baca Juga:Dahlan Iskan soal Ganjar Pranowo: Munaslub KendaraanGagas Juang Gerakan Relawan Ganjar Pranowo 2024
Pancasila semakin terdegradasi jauh. Bagi rejim ini, yang tidak sepaham dengan dirinya dianggap tidak Pancasilais, dianggap tidak toleran, dianggap tidak berbhineka. Ini perusakan nilai ruh Pancasila yang sesungguhnya.
Presiden harus melakukan upaya-upaya yang benar dan tepat dalam menangani masalah ini sebelum menjadi membesar.
Presiden harus mengerti dan memahami sejarah supaya tidak mudah diatur kelompok lain untuk menciptakan sejarah baru terkait sejarah Pancasila seperti penetapan 1 Juni itu sebagai Hari Lahir Pancadila dan sebagai hari libur.
Pancasila itu bukan Soekarno, Pancasila bukan golongan tertentu saja, tapi Pancasila itu adalah hasil kompromi besar para pendiri bangsa yang harus dijaga kelurusan sejarahnya, dikawal penerapannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta diamalkan nilai -nilainya dalam menyelenggarakan negara.
Berhentilah siapapun yang ingin menciptakan sejarah dengan memodifikasi sejarah bangsa, terutama sejarah Pancasila agar Pancasila tidak kehilangan jejak dan tidak terdegradasi makanya jadi sebatas simbol-simbol semata. (*)