Aji menjelaskan bahwa harusnya kartu prakerja dibagikan kepada masyarakat yang utamanya berstatus sebagai pengangguran terbuka dan korban PHK akibat pandemi. Namun faktanya, kartu prakerja justru disalurkan ke sejumlah PNS bergolongan rendah, sejumlah pekerja yang telah memiliki pendapatan tetap meskipun berstatus tenaga kontrak dan bergaji di atas UMR. “Harusnya kartu prakerja itu dibagikan kepada rakyat yang samasekali tidak memiliki pekerjaan dan tidak memiliki pendapatan tetap. Inilah kesalahan utama pengelolaan kartu prakerja,” ujar Aji.
Selain itu, berdasarkan informasi yang telah dimuat salahsatu majalah investigasi terkemuka di Indonesia, Menko Perekonomian berstatus sebagai ketua komite pengarah BPDPKS yang mengelola dana pungutan ekspor CPO bernilai ratusan triliun. “Tapi sayangnya uang ini tidak dimasukan sebagai pendapatan negara dalam postur APBN sehingga membuat pungutan ini menjadi non budgeter. Letak dugaan perbuatan melawan hukumnya bukan sebagai ketua komite pengarah, namun kewenangan sebagai ketua komite ini yang tidak transparan dalam menyalurkan uang dan juga tidak tepat sasaran,” ujar Aji.
Untuk itu, aparat penegak hukum harus mengungkap seperti Kejaksaan Agung harus mengukap kasus ini supaya tidak menjadi fitnah, bila diperluka segera lakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap Menko Perekonomian untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. “Jika itu tidak dilakukan, maka wibawa pemerintah akan jatuh di mata publik karena tidak berani mengungkap fakta-fakta sebenarnya di balik dugaan-dugaan tersebut,” tandas Aji. (*)