Pecahnya perang saudara (Perang Paregreg) pada 1405 melemahkan Majapahit sepeninggal Hayam Wuruk. Di tahun yang sama, muncul kekuatan baru di Semenanjung Malaya dengan berdirinya Kesultanan Malaka yang lantas mengambil-alih wilayah Tumasik (Didier Millet, ed., Singapore at Random, 2011:120). Majapahit yang sedang menuju keruntuhan tidak mampu berbuat apa-apa.
Pada 1551, kekuasaan Kesultanan Malaka runtuh akibat serangan Portugis. Sebelum itu, sudah berdiri sebuah kesultanan baru di Johor oleh pangeran Malaka bernama Alauddin Syah. Sebagai pewaris Malaka, Kesultanan Johor mengklaim kepemilikan atas Tumasik (Ahmad Jelani Halimi, Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu, 2008).
Namun, Kesultanan Johor harus berhadapan dengan Portugis dan terlibat polemik dalam waktu yang cukup lama. Puncaknya adalah ketika orang-orang Portugis membakar permukiman penduduk yang berada di tepi sungai utama di Tumasik. Peristiwa yang terjadi pada 1613 ini membuat Tumasik luluh-lantak dan mulai diabaikan.
Baca Juga:Dianggap Ajarkan Radikalisme UAS Ditolak Singapura, Lee Kuan Yew Bikin Gus Dur Geram karena Sebut Indonesia Sarang TerorisKonsorsium Penyelidik Internasional Bellingcat Temukan Dugaan Pasukan Israel Tembak Abu Akleh
Tumasik yang dulunya kerap menjadi rebutan kerajaan-kerajaan besar sudah tidak menarik lagi setelah insiden pembakaran oleh Portugis pada 1613. Tempat ini berubah menjadi sarang penyamun dan sering terjadi perkelahian antar perompak yang berebut harta rampasan (Victor Pursell, Orang-orang Cina di Tanah Melayu, 1997: 76). Nama Tumasik pun berangsur-angsur dilupakan.
Hingga akhirnya, datanglah orang-orang dari East Indian Company (EIC) dari Britania (Inggris) yang dipimpin Thomas Stamford Raffles pada 28 Januari 1819 (Brenda S.A. Yeoh, Contesting Space in Colonial Singapore, 2003). EIC sedang mencari tempat strategis di Selat Malaka untuk menandingi dominasi Belanda yang telah menguasai negeri seberang.
Ketika Raffles tiba, wilayah bekas Tumasik hanya dihuni oleh satu keluarga temenggung dari Johor, bersama 150 nelayan yang terdiri dari 120 orang Melayu dan 30 orang Cina (W. Bartley, Population in Singapore in 1819, 1933: 177). Raffles membayar temenggung ini dengan sejumlah uang agar diizinkan membangun pos dagang di Tumasik dan mendapatkan hak monopoli.
Tak hanya itu, sebagai upaya untuk mengamankan wilayah itu dari ancaman Belanda, Raffles menjalin perjanjian dengan pewaris Kesultanan Johor dan membantunya merebut tahta. Pada 9 November 1824, kesepakatan antara EIC dan Johor diperbaharui dan sejak saat itu, Tumasik resmi menjadi milik Inggris (Pursell, 1997: 76).