Jokowi memberikan interpretasi baru pada prinsip luar negeri SBY, menjadi “Thousand friends (with benefits), zero enemy.” Jokowi hanya fokus pada negara-negara yang dirasa bisa memberikan keuntungan domestik. Tidak heran retorika Poros Maritim Dunia mendekatkan Indonesia dengan Tiongkok, yang sedang menggalakkan pembangunan di jalur sutra. Nyatanya, upaya Jokowi mewujudkan Poros Maritim Dunia tidak pernah terlihat.
Siapa yang dipusingkan dari sikap Jokowi? Para duta besar dan diplomat. Jokowi membebankan 70-80 persen tugas dari seorang duta besar adalah diplomasi ekonomi. Padahal, mereka tidak diberikan tambahan sumber daya dan pelatihan lebih mendalam.
Mereka juga dipusingkan karena Jokowi hanya ingin menghadiri kegiatan internasional sepanjang memberikan “santapan media”. Lawatan Jokowi ke Filipina misalnya, dia menandatangani kerja sama untuk membuka rute pelayaran dari General Santos, Mindanao menuju Bitung, Sulawesi Utara. Namun, kunjungan Bland ke Bitung justru mendapati pelabuhan yang sepi, tanpa aktivitas ekonomi, tidak semeriah apa yang diberitakan.
Baca Juga:Pengkritik Jokowi di Man of Contradictions, Benjamin Bland Senang Diskusi dengan AniesJokowi Bertolak Menuju Dubai, Sampaikan Ungkapan Bela Sungkawa
Terakhir, Bland menyoroti tingginya ekspektasi kepada Jokowi di mata internasional. Dia adalah politikus yang mengerti apa yang diinginkan media. Itulah kenapa dia mampu menarik sensasi dengan janji politik dan frasa-frasa sensasional pada pidato internasional. Seolah-olah Jokowi adalah sosok yang bisa mewujudkannya. Padahal, sama seperti di dalam negeri, apa yang dia sampaikan di forum internasional hanya sebagian dari kontradiksinya.
Kesimpulan: Why we keep getting Indonesia wrongPertanyaan ini berusaha untuk menjawab, di tengah kontradiksi kebijakan Jokowi, kenapa dia tetap bertahan bahkan terpilih lagi pada periode keduanya? Padahal, terlihat jelas semakin tinggi jabatan yang diemban Jokowi, semakin ngawur kata-kata yang dia sampaikan.
Untuk menjawab hal itu, Bland mengutip ungkapan Niccolo Machiavelli dalam buku The Prience, “it is much to be feared than loved.” Bland mengakui kehebatan Jokowi adalah kemampuannya untuk menjadi orang yang ditakuti, sekaligus dicintai.
Jokowi kerap dinilai sebagai orang yang diragukan kemampuannya. Tapi, dari situlah Bland justru melihat keunggulan Jokowi, bahwa ekspektasi yang tidak berlebih menjadi nilai lebihnya. Kadang Jokowi dianggap sebagai “boneka” Megawati, kadang dia “menurunkan sedikit harga diri” demi merangkul Prabowo, oposisi yang kerap menjelek-jelekkannya ketika Pilpres.