Bagian terakhir yang Bland ulas adalah ternyata Jokowi tidak beda dari presiden sebelumnya di perkara dinasti politik. Dari Sukarno hingga SBY, kecuali Habibie, semuanya menunjukkan keinginan untuk membangun dinasti politik. Dari sinilah Jokowi perlahan berubah dari “orang luar” menjadi “orang dalam”, selain karena kedekatannya dengan para taipan yang seolah-olah “mengendalikan” politik di balik layar.
Building the economy: A hard-hat president chases dreamsAda dua bagian penting yang diulas pada bagian ini. Pertama, orientasi kebijakan ekonomi Jokowi. Bland cukup baik dalam menjawab kenapa Jokowi fokus pada pembangunan infrastruktur, pemangkasan izin usaha, dan modal asing.
Untuk menjawab pertanyaan itu, Bland memiliki dua alasan. Pertama, pertumbuhan ekonomi era SBY mandek di angka lima persen. Artinya, Jokowi perlu terobosan untuk mengoptimalkan potensi ekonomi.
Baca Juga:Pengkritik Jokowi di Man of Contradictions, Benjamin Bland Senang Diskusi dengan AniesJokowi Bertolak Menuju Dubai, Sampaikan Ungkapan Bela Sungkawa
Kedua, sebagai pengusaha mebel, Jokowi pernah mengalami kesulitan memperoleh modal usaha hingga hambatan pengiriman barang ke daerah.
Tidak heran, Jokowi bersikeras memotong seluruh anggaran kementerian demi pembangunan. Jokowi yakin, semakin baik infrastruktur, maka meningkat pula kesejahteraan masyarakat. Di sini, dia terlihat sebagai seorang developmentalis.
Bland kemudian menjuluki Jokowi sebagai “orang dari partai Sukarno yang berpikir layaknya Suharto”. Lagi-lagi ini adalah bentuk sindiran kepada Jokowi yang tidak memiliki visi politik dan semangat demokrasi.
Di tengah retorika Jokowi yang mengharapkan Indonesia menjadi negara ekonomi liberal, yang terbuka bagi investasi asing, ternyata dia juga menerapkan sejumlah kebijakan proteksionisme. Dari situlah tidak heran jika Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja, yang populer disebut Omnibus Law, belum menjadi daya tarik bagi modal asing untuk masuk ke Indonesia.
Kedua, Jokowi adalah “man in actions”. Perjumpaannya dengan elite pemerintahan membuat Bland berkesimpulan bahwa Jokowi adalah orang yang keras kepala, bekerja berdasarkan aksi bukan teori, dan enggan mendengarkan analisis yang berbelit. Jokowi adalah sosok yang lebih suka aksi daripada berdebat pada teori.
Hal ini menjadi masalah karena kebijakan yang diputuskan Jokowi sering kali justru merugikan negara. Sebut saja pembangunan pelabuhan dan bandara. Kebijakan ini seakan mempermudah akses ke daerah, tapi Jokowi tidak memperhatikan kajian kebutuhan. Alhasil, banyak dermaga dan bandara yang terbengkalai karena sepi.