Shata yakin pelakunya adalah pasukan IsraelLebih lanjut, jurnalis MEE itu mengatakan, penembakan tersebut adalah hal yang disengaja dan bertujuan untuk membunuh mereka. Ia yakin, pelakunya tak lain adalah penembak jitu Israel karena saat itu tidak ada insiden penembakan oleh pejuang Palestina, seperti yang diklaim negara Zionis tersebut.
“Tidak ada pertempuran saat itu. Lokasi kejadian berada di area yang relatif terbuka, jauh dari kamp dimana pejuang Palestina tidak dapat beroperasi karena mereka akan dirugikan di sana,” katanya.
Hal lain juga yang menurutnya perlu diperhatikan adalah jenis tembakan saat itu di mana pejuang Palestina biasanya menggunakan senapan semi otomatis yang menembakkan peluru secara terus menerus. Sementara saat itu, peluru yang ditembakkan sporadis dan tepat sasaran.
Baca Juga:Presiden Jokowi, Man of Contradictions: Joko Widodo and The Struggle to Remake IndonesiaPengkritik Jokowi di Man of Contradictions, Benjamin Bland Senang Diskusi dengan Anies
“Mereka hanya tertembak ketika salah satu dari kami bergerak. Satu peluru pada satu waktu. Saya tidak tahu ini akan menjadi bagaimana hari saya berlangsung tetapi saya telah mempersiapkan diri untuk mati selama beberapa waktu,” ungkap Shatha.
Jenin telah berada di bawah serangan intensif Israel dalam beberapa bulan terakhir. Dengan setiap serangan yang terjadi, Shatha merasa akan terbunuh saat itu juga. Menurutnya, Israel tidak membedakan antara tua dan muda, pria dan wanita, jurnalis sipil dan kombatan. Setiap orang adalah sasarannya.
Shireen menjadi idola Shatha sejak kecilDi rumah sakit, kematian Shireen mengagetkan jurnalis, petugas medis, dan warga yang hadir saat itu. Semuanya terpukul atas kematian sang jurnalis senior tersebut. Shatha mengaku hendak mendokumentasikan momen saat itu, namun merasa tak tega sekaligus karena untuk meghormati korban.
Ia lalu mengisahkan bagaimana Shireen berjasa dalam hidupnya, di mana Shireen adalah reporter idolanya sejak kecil. Saat berumur tujuh tahun Shatha kerap melihat Shireen di televisi dan karena itu pula ia sedari kanak-kanak bercita-cita menjadi jurnalis, sama sepertinya.
“Ketika saya mengatakan padanya, bahwa dia adalah idola saya, dalam pertemuan pertama kami beberapa tahun yang lalu, dia tersenyum dan bercanda dengan saya,” kata Shatha.
Shireen meninggal di usia 51 tahun dan kematiannya dikenang oleh banyak orang di seluruh dunia. Ia dimakamkan pada Jumat di Pemakaman Protestan Gunung Sion, Yerusalem Timur, tepat di sebelah orang tuanya. Ribuan pelayat hadir, dan beberapa di antaranta mengibarkan bendera Palestina seraya meneriakkan “Palestina, Palestina,”.