KABAR soal gugurnya jurnalis kawakan Al Jazeera Shireen Abu Aqla menimbulkan gelombang kejut di dunia. Proses terbunuhnya Abu Aqla yang ditembak di kepala saat sedang melakukan tugas kewartawanan di Tepi Barat menambah daftar panjang kekejian yang terjadi di daerah wilayah jajahan Israel.
Pihak Israel sempat menyangkal bahwa tentara mereka yang melepaskan peluru yang menggugurkan Abu Aqla. Benarkah demikian?
Untuk mencari tahu, ada baiknya menengok latar belakang Abu Aqla. Perempuan berusia 51 tahun itu lahir di Yerusalem dari keluarga Katolik dari Bethlehem, Tepi Barat. Ia mulai meliput penjajahan Israel saat bergabung dengan Al Jazeera pada 1997. Ia juga merupakan warga negara Amerika Serikat menyusul kepindahan ibunya ke negeri Paman Sam.
Baca Juga:3 Nelayan Temukan Peti Berisi Bom Martir Saat Menjaring Ikan di Perairan IndramayuKemenkumham Jabar Bantah Abi Rizal Afif Si Penculik Anak, Napiter di Lapas Gunung Sindur
Sepanjang 25 tahun karirnya, Abu Aqla sudah menjadi ikon bagi warga Palestina. Al Jazeera melaporkan, warga Palestina sudah menganggap laporannya sebagai suara mereka yang jarang digaungkan media-media arus utama. Abu Aqla utamanya kerap melaporkan soal kekejian penjajahan Zionis Israel, kerap menghadiri langsung pemakaman warga Palestina yang dibunuh militer Israel.
Aksi-aksinya jadi latar juru bicara militer Israel (IDF) Ran Kochav menyebut para wartawan sebagai prajurit yang “dipersejatai dengan kamera”.
Keadaan yang melatari terbunuhnya Abu Aqla adalah kian gencarnya IDF melakukan penggerebekan-penggerebekan di Tepi Barat. Sejak awal tahun ini, sebanyak 27 warga Palestina dan tiga warga Israel keturunan Arab sudah dibunuh tentara Israel melalui aksi-aksi penggerebekan tersebut. Militer Israel berdalih mereka memburu para teroris yang melakukan aksi penusukan di berbagai wilayah Israel dan menewaskan 19 warga Israel belakangan.
Jarak antara lokasi pejuang Palestina dengan lokasi gugurnya Abu Akleh. (B’Tselem)
Pada Rabu (11/5/2022) pagi, Abu Aqla mengirimkan pesan ke kantornya bahwa penggerebekan oleh pasukan Israel akan kembali dilakukan di pengungsian di Jenin, Tepi Barat. Ia kemudian bertolak menuju lokasi tersebut bersama kru kamera.
Shatha Hanaysha, jurnalis lain yang juga berada di lokasi menuliskan di Middle East Eye bahwa ada enam wartawan, terdiri dari ia sendiri, Abu Aqla, dua repoter, dan dua kamerawan bersiap meliput kala itu. Setelah berkumpul dan mengenakan rompi anti peluru betuliskan “PERS” serta helm, mereka kemudian berjalan kaki menuju jalan masuk ke pengungsian di Jenin.