Pengungsi Palestina di OPT dan negara-negara tetangga bahkan tak punya hak-hak dasar sebagai warga negara. Sementara, sebagian pengungsi lainnya mengalami diskriminasi sebagai warga kelas dua yang didiskriminasi secara sistematis. Pada tahun 2018, saya sempat mengunjungi Aida Refugee Camp di Betlehem saat study tour ke Palestina-Israel di tahun 2018.
Dr. Abdelfattah Abusrour, pendiri organisasi nirlaba Alrowwad Center yang mengajarkan seni pada anak-anak dan orang muda, bercerita bahwa salah satu tema yang sering muncul di karya seni anak-anak asuhan mereka adalah kematian dan keputusasaan. Hal ini disebabkan oleh status pengungsi yang mereka miliki secara turun-temurun. Dr. Abusrour juga menunjukkan kondisi pengungsi di Aida, yang setiap hari hidup dalam kemiskinan dan kelangkaan air.
Menurut Human Rights Watch (HRW) dalam laporan akhir April lalu, penindasan yang dilakukan Israel sudah melewati ambang batas persekusi dan apartheid B’Tselem, organisasi HAM Israel,juga mengeluarkan laporan pada Maret 2021 yang menyatakan bahwa Israel “menjalankan rezim supremasi Yahudi di seluruh wilayah antara Sungai Yordan dan Laut Mediterania” Meski pengakuan ini baru, Istilah apartheid sendiri sudah lama dipakai untuk menggambarkan Israel.
Baca Juga:Duta Besar Indonesia untuk Ukraina Ghafur Akbar Dharmaputra WafatSebagai Bangsa Berdaulat, Seharusnya Presiden Jokowi Marah Tidak Disambut Pejabat Amerika Serikat
Penggunaan apartheid untuk menggambarkan Israel pernah dilakukan oleh Mantan Perdana Menteri Afrika Selatan sekaligus arsitek apartheid, Hendrik Verwoerd. Selain itu, istilah ini juga digunakan Edward Said dalam The Question of Palestine.
Meningkatnya perhatian dan pemahaman publik akan isu ini memberikan secercah harapan baru. “Saya berharap, perhatian publik ini dapat menarik kepedulian untuk membantu perjuangan kami,” ungkap Nadia. “Saya berharap bisa melihat negara dan bangsa saya benar-benar merdeka dan hidup, bukan hanya bertahan hidup,” tandasnya. (*)