“Inggris tidak punya hak moral, politik, atau legal untuk menjanjikan tanah milik rakyat Arab kepada bangsa lain,” tegas Avi Shlaim, sejarawan Inggris-Israel dan profesor Universitas Oxford.
Akibat pernyataan dari Inggris ini, saat wilayah-wilayah jajahan negara-negara imperialis Eropa di Asia dan Afrika mulai merdeka di akhir Perang Dunia II, Palestina justru memulai episode baru penjajahan oleh Israel.
“Dengan standar moral atau politik manakah kami diharapkan untuk mengesampingkan hak kami (untuk memiliki) keberadaan nasional, tanah, dan hak asasi manusia? Dunia macam apakah ini sehingga bisa diam ketika ada sebuah bangsa yang dikatakan absen secara yuridis, bahkan ketika tentara digiring untuk melawannya, kampanye dilancarkan untuk melawan namanya, dan sejarah diubah untuk ‘membuktikan’ ketiadaannya?” Edward Said, akademisi terkemuka AS asal Palestina, menjabarkan ketidakadilan ini dalam The Question of Palestine.
Baca Juga:Duta Besar Indonesia untuk Ukraina Ghafur Akbar Dharmaputra WafatSebagai Bangsa Berdaulat, Seharusnya Presiden Jokowi Marah Tidak Disambut Pejabat Amerika Serikat
“Let’s burn Arab villages!” “Death to Arabs!” (“Ayo musnahkan desa-desa Arab!” “Matilah Arab!”) Ratusan anggota Lehava, kelompok ekstremis Israel, meneriakkan kata-kata kebencian ini saat protes di Kota Tua Yerusalem, Yerusalem Timur, pada 22 April lalu. Sementara itu, warga Sheikh Jarrakh yang mayoritas Arab Palestina juga mengalami teror pengusiran sejak awal Mei.
Di saat yang sama, video seorang laki-laki Israel yang dengan enteng berkata, “Kalau saya tidak mencuri rumah Anda, orang lain akan mencurinya,” dengan logat Amerika Serikat pada seorang perempuan Palestina viral di media sosial. Aksi-aksi teror ini dengan cepat berkembang ke penyerangan Israel terhadap jemaah di Masjid Al-Aqsa.
Merespon itu, Hamas, kelompok perjuangan Palestina yang menguasai Gaza, mulai mengirim roket ke Israel sejak 10 Mei. Serangan balasan Israel yang bertubi-tubi dan saat artikel ini ditulis (14 Mei) masih berlangsung sudah melukai lebih dari 500 orang dan membunuh 109 orang, termasuk 28 anak-anak.
Serangkaian kekerasan ini baru sebagian kecil dari pelanggaran HAM rakyat Palestina oleh Israel. Selain yang sudah disebutkan di atas, Israel juga melakukan bentuk-bentuk persekusi lain, seperti pembangunan pemukiman ilegal di OPT, pendirian tembok pemisah antara wilayah Tepi Barat dan Israel, blokade Jalur Gaza yang disebut sebagai “penjara udara terbuka”, serangan-serangan militer, pembunuhan ekstra yudisial (di luar hukum), pemenjaraan semena-mena dan penyiksaan, dan penerapan hukum-hukum yang mendiskriminasi orang Palestina.