Negara Israel sendiri didirikan kelompok Zionis tak lama setelah tragedi Holocaust, pembantaian yang menargetkan orang-orang Yahudi (beserta kaum LGBT, penyandang disabilitas, bangsa Roma, Saksi Yehovah, dan lain-lain) selama Perang Dunia II di Eropa. Bagi Kaum Yahudi yang berhasil menyelamatkan diri dari Nazi saat itu, tanah Palestina adalah tempat berlindung paling aman yang sudah dijanjikan bagi mereka sejak 2.000 tahun lalu.
“Orang Yahudi tidak punya teritori dan kerajaan. Mereka tidak punya kemerdekaan dan kedaulatan… (untuk menghindari) kepunahan Yahudi… (akan dibutuhkan) solusi radikal: transformasi Yahudi. … (Hal ini) hanya bisa (direalisasikan) di Palestina, yang pernah menjadi tanah air bangsa Yahudi di zaman kuno,” tulis jurnalis Israel Ari Shavit di My Promised Land: The Triumph and Tragedy of Israel.
Masalahnya, tanah Palestina sendiri sudah ditempati penduduk aslinya, bangsa Palestina, selama ribuan tahun.
Baca Juga:Duta Besar Indonesia untuk Ukraina Ghafur Akbar Dharmaputra WafatSebagai Bangsa Berdaulat, Seharusnya Presiden Jokowi Marah Tidak Disambut Pejabat Amerika Serikat
Benih-benih Israel sudah ditanam jauh sebelum Holocaust. Menurut catatan Charles D. Smith dalam Palestine and the Arab-Israeli Conflict: A History with Document, gerakan Zionisme dibentuk oleh para perantau Yahudi di Eropa, dipimpin Theodor Herzl, pada abad 19. Keinginan mendirikan negara Yahudi ini didorong oleh diskriminasi dan persekusi lewat pogrom (serangan massal) yang dialami orang-orang Yahudi di Eropa Timur. Berkat bantuan dari tokoh-tokoh berpengaruh di Eropa, Zionisme segera mendapatkan dukungan dari negara-negara adikuasa seperti Inggris dan AS. Mereka juga bergerak dengan cepat. Kabarnya, orang-orang Yahudi Eropa sudah mulai bermigrasi ke Palestina sejak tahun 1882.
Balfour Declaration yang dirilis pada 2 November 1917 adalah salah satu tonggak pencapaian cita-cita Zionisme. Surat dari Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour ini ditujukan kepada Walter Rothschild sebagai pemimpin komunitas Yahudi di Inggris saat itu. Dalam suratnya, ia menjanjikan dukungan pemerintah Inggris untuk menjadikan Palestina negara untuk bangsa Yahudi.
Deklarasi ini tentu melanggar norma dan hukum internasional, karena yang berhak menentukan nasib suatu bangsa dan tanah air adalah bangsa itu sendiri.
“Persoalan pemerintah harus diputuskan oleh yang diperintah (rakyat),” tulis filsuf Inggris, John Stuart Mill, dalam Considerations on Representative Government.