Surat kabar Teradjoe 28 Februari 1927 menyebutkan, bahwa sebenarnya masyarakat menolak pelayanan kesehatan modern bukan semata karena keengganan mereka menerima budaya Eropa, namun karena beberapa alasan, di antaranya lokasi pelayanan kesehatan yang ditawarkan hanya ada di kota, dan biaya pengobatan yang sangat mahal.
Kedua alasan itulah yang membuat mereka memiliki solusi tersendiri untuk hidup sehatnya. Mereka lebih memilih berobat ke dukun atau kiai karena bisa dibayar murah bahkan bisa dibayar dengan hasil pertanian yang dimilikinya. Terkadang, mereka berdiam diri di rumah dengan tidak melakukan pengobatan apa pun karena ketidakmampuannya untuk berobat.
Mayoritas masyarakat Cirebon meracik ramuan herbal untuk mengobati penyakitnya. Ramuan-ramuan herbal didapatkan dari keluarga dan/atau mengikuti praktik pengobatan keluarga kesultanan dengan menggunakan berbagai tumbuhan yang ada di sekitar kesultanan, dicampur air, madu, dan hewan pilihan. Ramuan tersebut mengikuti resep yang ditulis di dalam naskah milik Kesultanan Cirebon atau yang telah ditulis ulang oleh masyarakat. (*)