Bila berdasar pada laporan di atas, pengetahuan tentang malaria bukanlah hal yang asing bagi pemerintah kota Cirebon saat itu. Laporan itu pun menyebutkan bahwa penyakit ‘yellow fever’ atau malaria disebabkan udara yang kotor, lembab, dan basah sebagai dampak dari lingkungan yang kotor.
Namun, anehnya, sampai pertengahan abad ke-20, kepada media massa, pemerintah kota Cirebon selalu menyebut penyakit malaria sebagai ‘penyakit yang tidak dikenal’. Rupanya, dari informasi koran Bataviaasch Nieuwsblad (1915) dapat dipahami alasan-alasan pemerintah mengatakan demikian, di antaranya; Pertama; pemerintah tidak ingin disebut sebagai penyebab kemunculan wabah malaria di kota. Setelah pemerintah mengizinkan proyek penggalian tanah di tahun 1912, untuk perusahaan kereta api Semarang-Cirebon dan Cirebon-Cikampek-Batavia, lokasi sekitar proyek itu menjadi kotor dan berlumpur. Daerah Kejaksan sebagai pusat pemerintahan menjadi daerah terparah terpapar wabah malaria.
Namun pemerintah bersikap apatis atas kejadian ini. Para buruh di proyek itu tetap wajib kerja sekalipun sakit. Para peneliti yang dikirim ke Cirebon memprotes pemerintah agar menghentikan proyek itu selama wabah malaria belum teratasi. Namun pemerintah beralasan bahwa tidak pernah tahu tentang penyakit itu. Pemerintah tetap mengizinkan pelaksanaan proyek penggalian tanah demi mempercepat proyek pembuatan rel kereta api yang akan memperlancar distribusi hasil perkebunan dan olahannya ke kota.
Baca Juga:Tokoh Berpengaruh Ukraina Leonid Kravchuk Meninggal Dunia, Zelensky: Pemimpin Bijaksana di Tahun Kemerdekaan dari SovietBuat Perawatan Wajah di Korea, Siwi Widi Purwanti Akui Terima Rp 647 juta dari Anak Mantan Pegawai Pajak,
Kedua; pemerintah lepas tangan atas kasus para buruh yang terserang demam, diare berdarah disertai muntah darah, bahkan pendarahan di sekitar pori-pori tubuhnya. Pemerintah beranggapan kalau mengurus buruh sakit adalah bukan tanggungjawabnya. Buruh yang sakit malaria dipandang pemerintah sebagai kesalahannya sendiri karena tidak dapat memelihara kebersihan lingkungannya.
Pemerintah juga merasa kalau penyakit malaria di daerah iklim tropis adalah penyakit yang aneh karena tidak pernah terjadi di Eropa. Para dokter peneliti pun menyebut penyakit itu sebagai ‘penyakit tak dikenal’, sekalipun beberapa koran Eropa di tahun itu telah menyebut penyakit malaria. Oleh karena itu para buruh tetap dituntut wajib kerja sekalipun mereka sakit.
Informasi dari koran lokal, Bintang Tjirebon pada 12 Mei 1914, menjelaskan adanya penyakit malaria di masyarakat disebabkan lingkungan kotor yang dibiarkan lama, sikap aptis pemerintah terhadap para penderita, dan kesalahan pemerintah yang selalu mendatangkan para buruh ke kota Cirebon dalam jumlah banyak. Kepadatan penduduk akibat migrasi itu di tahun itu telah membuat percepatan persebaran nyamuk malaria tidak terkendali.