DALAM laporan Binnendlandsch Bestuur No. 1893 pun disebutkan bahwa peran para dokter belum berhasil dalam menangani wabah typhus, karena persebaran wabah typhus terus terjadi hingga ke daerah pedalaman seperti yang terjadi di Cirebon Selatan dan Barat, sejumlah 3205 orang terkena wabah di tahun 1932-1933. Menurut laporan ini, 1932-1933 merupakan periode paling parah sepanjang wabah typhus terjadi di Kota Cirebon.
Pasalnya, kasus wabah typhus di periode ini diperparah oleh kasus kelaparan yang terjadi setelah terjadinya banjir di Kota Cirebon. Banjir terjadi karena air di sungai-sungai yang ada di kota meluap ke pemukiman masyarakat. Sampai masa periode ini kebijakan pemerintah tidak dapat menyelesaikan permasalahan wabah penyakit typhus. Pemerintah juga seringkali tidak menerima hasil penelitian para dokter tentang wabah typhus yang melanda di daerah ini.
Surat kabar Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch Indie memberitakan kritikan seorang dokter pemerintah kepada pemerintah kota. Menurutnya, pemerintah Kota Cirebon tidak tegas dalam mengambil tindakan penanganan wabah typhus yang sudah melanda warganya bertahun-tahun lamanya. Persoalan saluran air yang buruk, wabah lalat, pembuangan kotoran yang buruk, kurangnya saluran pembuangan, penyebaran penyakit perut menular, terutama typhus, tidak diperhatikan oleh pemerintah.
Baca Juga:Tokoh Berpengaruh Ukraina Leonid Kravchuk Meninggal Dunia, Zelensky: Pemimpin Bijaksana di Tahun Kemerdekaan dari SovietBuat Perawatan Wajah di Korea, Siwi Widi Purwanti Akui Terima Rp 647 juta dari Anak Mantan Pegawai Pajak,
Kemudian, kabar tentang nama penyakit ‘yellow fever’ menyebar di wilayah Hindia Belanda di akhir abad ke-19. Laporan pemerintah, yaitu Kolonial Verslag tahun 1883-1884 menyebutkan adanya kasus penyakit itu dan mewabah di masyarakat. Laporan itu menyebut penyakit ‘yellow fever’ adalah malaria seperti hasil penelitian di Amerika tersebut.
Di Cirebon, penyakit malaria menyerang penduduk pada tahun 1882. Dalam laporan pemerintah itu, tercatat sejumlah 3.900 orang penderita malaria meninggal dunia di bulan Januari 1882. Dalam hitungan lima bulan, jumlah penderita meningkat tinggi. Yaitu di bulan Mei 1882 jumlah penderita malaria menjadi 10.919 orang. Wabah malaria terutama menyerang para buruh yang tinggal di lingkungan yang kumuh dan berawa.
Kondisi itu pun memang terjadi di beberapa daerah di Jawa, seperti Batavia, Semarang, Probolinggo, Besuki, dan Banyumas. Namun, dalam Kolonial Verslag tahun 1883-1884 disebutkan bahwa daerah Cirebon merupakan daerah kasus malaria yang tertinggi dibanding daerah-daerah tersebut. Dugaan pemerintah kota Cirebon, daerah yang banyak berkembang bibit malaria di Cirebon adalah daerah-daerah yang dipenuhi rawa-rawa di sekitar pantai dan pinggir sungai.