Sastrawan dan seniman hari ini (di Cirebon?), lebih memilih menjura dan menghamba bahkan menjilati kaki para penguasa. Takut tidak bisa makan, takut miskin, takut tidak eksis, ternyata dianggap jauh lebih puitis ketimbang menunjukkan dan membela harga diri. Meski, benarkah ada harga diri di sana? Sehingga kisah-kisah di masa lalu hanya dijadikan pengantar kencing dan berak? Samasekali tidak menggedor kesadaran juga penghayatan terhadap spiritualitas.
Memang, Cirebon bukan kota yang perlu dibela, jika manusianya lebih memilih untuk menghinakannya. Karenanya, untuk apa pula teriak ke sana ke mari layaknya Raja Leonidas memimpin pasukan Sparta melawan Dewa-Raja Xerxes, jika aslinya ternyata Brutus yang menadahkan piring seng ke setiap meja para penghisap darah rakyat. Maka, sastrawan/seniman dengan pengemis, di mana letak bedanya?
Bagaimana mungkin, sebuah lembaga yang mengandaikan diri sebagai representasi orang-orang muda yang berpikir dan berkarya, begitu saja tunduk kepada birokrasi yang menghinakannya? Sementara, pada waktu yang bersamaan, penghina sastrawan/seniman itu berpesta pora di tempat yang jaraknya hanya selemparan batu. Jika saya boleh bertanya, ini sejenis lembaga apa? Sampai-sampai, harus semakin menghinakan diri dengan menjadi penumpang gelap acara yang diselenggarakan oleh pihak lain untuk pengukuhan legalitasnya?
Baca Juga:Surat Terbuka untuk Rakyat Amerika, Saat Rusia Merayakan Kemenangan Perang Dunia II Atas NaziSkandal Mobil Pengintai Israel, Pernah Demo Penyadapan WiFi di Indonesia
Sudah terlalu biasa, kemiskinan jadi komoditas dan dijual di mana-mana oleh para calo politik dengan slogan demi terselenggaranya hajat hidup orang banyak dan pemenuhan rasa kemanusiaan. Dengan begitu, hamburan dana menggelontor jadi bahan bancakan. Tapi, bagaimana jadinya jika para penganjur slogan itu mengatasnamakan diri sebagai sastrawan dan seniman? Beruntung, saya tidak berada di dalam lingkaran dan waktu yang sedang berlangsung.
Saya curiga, ini sejenis penyakit mental yang membatu demikian cepat sebab runtuhnya marwah kesastrawanan dan kesenimanan. Benar, seluruh profesi berpeluang menghancurkan identitas dirinya sendiri. Tidak ada jaminan bagi keberlangsungan dan masa depan orang per orang atau golongan. Siapa saja berhak untuk merasa miskin sekaligus menjualnya sebagai cara mengabadikan kemelaratan material, nalar, dan spiritual. Karena itu, kenapa tidak sekalian saja menegaskan diri agar tidak semakin membuat banyak orang terlukai?