LEONARDO Axsel Galatang, sastrawan cum jurnalis dari Bolaang Mongondow, tanpa ragu meneriakkan kredonya: karena kemiskinan adalah satu-satunya hartaku yang paling berharga, takkan kubiarkan seorang pun merebutnya dari tanganku. Dan salah satu ganjaran atas praktik kredonya itu, seperti dikabarkan sahabat baiknya—sastrawan Iverdixon Tinungki, ia dihajar aparat rezim represif Orde Baru hingga babak belur. Dalam kondisi sekarat, Axsel dibuang ke bak penampungan air hujan dan disuruh menghabiskan satu balok sabun cap Tangan.
Tidak sampai di situ, kedua orangtuanya juga diciduk dan diinterogasi selama dua hari. Ratusan puisi dan teks drama karya Axsel disita dan dibakar. Beruntung, seorang tokoh pendidikan setempat, Jacob Hendrik Bororing, berani pasang badan. Sehingga Axsel dan kedua orangtuanya dilepaskan dari tahanan. Namun akibat siksaan itu, Axsel mengalami cacat permanen. Betis kanannya harus disambung platina dan menjadi gagap karena syarafnya terganggu. Axsel kapok? Justru sejak peristiwa itu, semangatnya makin membara. Apalagi ketika rezim Orde Baru tumbang, Axsel bersama kelompok teaternya—Tangkasi, semakin produktif menggelar pementasan drama dan pembacaan puisi.
Sikap keras lain soal kemiskinan ini juga dilontarkan WS Rendra sejak awal 60-an. Bekerja menciptakan teater modern Indonesia harus bertolak dari kesadaran akan kemiskinan. Bukan kesadaran dari jenis yang penuh rasa kasihan pada diri sendiri dan bukan pula kesadaran yang segera disertai hiburan-hiburan maya tak berguna. Kesadaran itu harus dari jenis pandangan akal sehat yang biasa saja. Sudah menjadi kenyataan, teater modern di Indonesia miskin penonton, miskin kritikus, miskin penulis, miskin gedung, miskin kesempatan, miskin modal, miskin keuntungan material, miskin peralatan teknis.
Baca Juga:Surat Terbuka untuk Rakyat Amerika, Saat Rusia Merayakan Kemenangan Perang Dunia II Atas NaziSkandal Mobil Pengintai Israel, Pernah Demo Penyadapan WiFi di Indonesia
Lebih jauh, Rendra menyebut, kritik drama di Indonesia juga belum tumbuh. Sehingga orang terpaksa harus bekerja dalam gosip, komentar-komentar ngawur, opini-opini penuh dorongan ego yang tidak mampu merangsang kreativitas dan justru menyeret ke arah tetek-bengek yang tidak ada hubungannya dengan drama.
Axsel digebuk karena melawan tiran, Rendra teriak melihat seniman-seniman cengeng. Keduanya berbeda perspektif dengan tema yang hampir sama. Atau, Sitor Situmorang, Widji Thukul, Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, yang karena sikap, karya, dan pandangan politiknya, memaksa mereka untuk menghuni jeruji besi—sepenggal biografi masa silam yang mustahil terjadi hari ini.