PRAM menyebut proyek pembangunan Jalan Raya Pos atau De Grote Postweg dari Anyer hingga Panarukan yang dimulai pada 1808 telah menelan korban pribumi. Dugaan Pram mungkin saja benar. ‘Jenderal Guntur’, ‘Tuan Marsekalek’, atau ‘Mas Galak’ panggilan Herman Willem Daendels masa 1808-1811, yang memprakarsai proyek jalan raya itu, meminta para bupati menyediakan tenaga kerja wajib dengan upah murah. Mobilisasi kerja wajib yang oleh sejumlah kalangan disebut dengan kerja paksa itulah yang memicu terjadinya ketegangan antara penduduk pribumi dan penguasa Belanda.
Ketegangan terjadi karena para pekerja menanggung beban kerja yang amat berat dalam kondisi perbekalan terbatas dan upah sangat kecil, yakni antara 1 ringgit perak hingga 10 ringgit perak per meter.
Ketegangan itu bermula dari rencana pembangunan pelabuhan dan jalan raya di Ujung Kulon. Dalam pekerjaan ini terjadi banyak korban yang berasal dari penduduk pribumi, karena tanahnya banyak yang berupa rawa-rawa. ‘Tuan Marsekalek’ sebutan Herman Willem Daendels pada masa itu, meminta Sultan Banten untuk menyediakan tenaga kerja baru. Namun, Sultan Banten menolak permintaannya mengingat telah banyak jatuh korban. Herman Willem Daendels tidak bisa menerima alasan tersebut, kemudian mengirimkan utusannya Komandan Du Puy untuk mendesak Sultan Banten. Du Puy diserang dan dibunuh. Herman Willem Daendels marah, sehingga ia memutuskan menyerang Kesultanan Banten, dan Sultan Banten diasingkan ke Ambon.
Baca Juga:Operasi Militer Zionis di Jalur Gaza atau Tepi Barat, Fokus Jenin Bakal DigelarHari Ini Presiden Jokowi Tinggalkan Tanah Air, Bertolak ke Washington Hadiri KTT ASEAN-AS
Ketegangan juga muncul di ruas Cadas Pangeran, Kabupaten Sumedang, karena pekerja wajib membelah bukit di medan yang curam. Padahal, saat itu alat yang tersedia hanya berupa linggis.
Dalam cerita rakyat Sumedang, Bupati Sumedang Pangeran Kusumadinata IX atau dikenal sebagai Pangeran Kornel tidak rela rakyatnya diperlakukan semena-mena selama pembangunan Jalan Raya Pos atau De Grote Postweg itu.
Sangat tepat bila penduduk pribumi memanggil Herman Willem Daendels dengan sebutan ‘Mas Galak’. Ia melakukan intervensi terhadap kekuasaan Kesultanan di Jawa, diantaranya Kesultanan Banten dan Cirebon.
Kondisi di Cirebon berbeda sekali dengan Banten. “Sultan Sepuh yang memerintah dari tahun 1781 dikabarkan sakit ingatan, sehingga tidak mampu untuk menjalankan pemerintahan. Selanjutnya untuk menjalankan pemerintahan di Kesultanan dilakukan oleh beberapa Adipati. Ketika Sultan wafat pada tahun 1787, ia digantikan oleh penggantinya yang kemudian pada tahun 1791 meninggal dunia secara mendadak,” tulis Nina Herlina Lubis, dalam bukunya Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat.