ISKANDAR (46) menceritakan kisah pilu tentang dirinya dan delapan rekan dari Indonesia, yang terjebak di tengah pertempuran dalam invasi Rusia.
Akhir Februari, pekerja pabrik itu pesimis nyawanya dapat selamat dan melarikan diri dari tempat persembunyian. Saat itu dia mengira hanya memiliki peluang bertahan hidup sebanyak 10 persen.
“Saya hanya memiliki sedikit harapan untuk hidup. Saya seperti berada di garis tipis antara hidup dan mati,” ujarnya, dikutip dari Al Jazeera, Selasa, 10 Mei 2022.
Baca Juga:Jubir Petisi Rakyat Papua Jefry Wenda DitangkapBenJon, Kritik Seni, dan Identitas Teater Modern Indonesia
Iskandar bekerja sebagai petugas Quality Control (QC) di sebuah pabrik plastik ketika perang dimulai. Iskandar diketahui berasal dari kota Binjai di Sumatera Utara, Indonesia.
Pabrik tempatnya bekerja berbasis di kota utara Chernihiv. Dia mengaku pertama kali mengetahui tentang invasi dari video YouTube, tanggal 24 Februari, pagi hari waktu setempat.
“Hanya beberapa saat setelah video selesai, penembakan dimulai,” kata Iskandar, yang telah bekerja di Ukraina sejak 2017.
Sembilan pekerja Indonesia pabrik, dua rekan Nepal mereka, dan seluruh staf Ukraina berkumpul di lantai pabrik, bertanya-tanya apa yang harus mereka lakukan.
“Semua orang pucat dan tampak sangat tertekan. Aku bahkan tidak bisa tersenyum. Kami mulai panik. Bos kami menyuruh kami mematikan mesin. Kami hanya meringkuk di sana dan mendengarkan suara roket yang terbang di atas kepala,” kata ayah empat anak itu.
Iskandar dan para pekerja pabrik terperangkap dalam Pengepungan Chernihiv. Secara strategis, kota ini terletak di utara ibukota Ukraina, Kiev, dan dekat dengan perbatasan Belarus dengan Rusia.
“Semua orang di tim Indonesia berusia dua puluhan kecuali saya. Mereka mencari saya untuk bertanya apa yang harus dilakukan, saya tidak tahu harus menjawab apa. Beberapa dari mereka bahkan tidak bisa berbicara sangking ketakutannya,” katanya.
Baca Juga:Seniman dan Jual-Gadai KemiskinanSurat Terbuka untuk Rakyat Amerika, Saat Rusia Merayakan Kemenangan Perang Dunia II Atas Nazi
Iskandar dan tim memanfaatkan bangunan bersejarah di halaman pabrik. Bangunan kecil tak terpakai itu menuntun mereka ke sebuah bunker bawah tanah rahasia.
“Suhu saat itu -5 celcius di bawah tanah, dan kami semua masing-masing mengenakan tiga mantel serta topi,” katanya.
Dia menjelaskan, mereka tidur di atas palet kayu yang telah disusun menjadi tempat tidur dan makan buah serta roti. Di sana terdapat alat pemanas kecil yang tidak terlalu berguna.