BenJon, Kritik Seni, dan Identitas Teater Modern Indonesia

BenJon, Kritik Seni, dan Identitas Teater Modern Indonesia
Buku Metode Kritik Teater
0 Komentar

Meski, agak dapat dipahami, BenJon memilih periodisasi serta nama-nama kelompok tersebut bisa saja disebabkan oleh pembacaan faktual atas gencarnya publikasi gagasan yang mengiringi proses kreator di tahun-tahun tersebut. Termasuk, misalnya, pertimbangan locus dan pergaulan di mana BenJon berdiam, lebih memungkinkan untuk menyerap informasi dan fakta riil dengan lebih mudah. Ini ditunjukkan dengan disertakannya beberapa kelompok yang berada di sekitar Bandung—yang secara proses beberapa di antaranya jauh lebih muda—sebagai bagian penting dari perjalanan teater modern Indonesia. Sekadar menyebut nama, BenJon memuat perjalanan proses serta gagasan Studiklub Teater Bandung, Teater Payung Hitam, dan Actors Unlimited. Selebihnya, kelompok yang berdiam dan berproses di Jakarta, atau berada di daerah tapi menjadikan Jakarta sebagai corong publisitas dan sejumlah kerja kreatif-industri.

Maka, terasa relevan apa yang ditulis Arifin C Noer dalam bukunya Teater Tanpa Masa Silam. Apa yang dimaksud sebagai warna Indonesia dalam teater modern Indonesia adalah kredo-kredo yang dilahirkan oleh proklamasi individu. Dan itu dipercayai sebagai sesuatu yang faktual juga berdasarkan kesepakatan kepercayaan individual. Dan yang lebih banyak muncul dari proses seperti ini sesungguhnya bukanlah suatu kepastian Indonesia.

Teater tanpa masa silam memiliki arti teater yang tanpa ikatan apapun dengan masa lalu keindonesiaan, sekaligus tanpa pretensi menjadikan dirinya sebagai warisan halal masa depan keindonesiaan. Teater modern Indonesia hanyalah teater kemungkinan. Rendra, di tahun 1070-an, dalam pamflet pementasan versi ketiga Oeidipus-nya menulis, kami bisa melihat adanya kebudayaan Indonesia karena kami menghayati adanya “kemungkinan Indonesia”. Inilah pengakuan paling akhir bagi nasib teater yang mengindonesia: sebuah teater yang sebenarnya tidak begitu pasti mengenai keindonesiaannya sendiri. Sebuah teater tanpa definisi nasional. Karena dalam ketiadaan Indonesia, kita sendiri akan menjadi fakta dan bukan subordinatnya (hal 437-438).

Baca Juga:Seniman dan Jual-Gadai KemiskinanSurat Terbuka untuk Rakyat Amerika, Saat Rusia Merayakan Kemenangan Perang Dunia II Atas Nazi

Edeng Syamsul Ma’arif adalah esais, pegiat Lingkar Jenar dan Kelompok Arisan Buku (Kerabuku)

0 Komentar