MAKASSAR ibu kota provinsi Sulawesi Selatan juga dikenal dengan Kota Anging Mamiri dan Kota Daeng. Seperti kota-kota besar lainnya di Indonesia, kehidupan kota yang semarak berlanjut hingga malam hari. Kelap-kelip lampu menandakan bahwa perekonomian kota tetap bergeliat meski di tengah pandemi Covid-19.
Meski modernitas telah membawa perubahan signifikan di kota, Makassar tetap dikenal dengan kekayaan sejarahnya. Salah satunya adalah museum yang menjadi saksi perjuangan masyarakat Makassar pada masa penjajahan Belanda — Fort Rotterdam.
Penerbangan ditempuh selama 2,5 jam dari Jakarta, dan mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin. Hanya membutuhkan waktu 30 menit dari bandara ke Fort Rotterdam
Baca Juga:Pengamat Ungkap Gerindra Dapat Goyang PDI Perjuangan di Jawa TengahKetika Airlangga Hartarto Yes, AHY Tersenyum: Terima Kasih
Benteng Rotterdam dulunya bernama Benteng Ujung Pandang. Merupakan peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo yang berpusat di pesisir barat kota. Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa I Manrigau ke-10 Daeng Bonto Karaeng Lakiung.
Awalnya benteng ini dibangun menggunakan tanah liat. Namun, pada tahun 1634, Sultan Alauddin menggantinya dengan batu kapur yang ditambang dari Pegunungan Karst di Maros.
Namun, ketika Gowa-Tallo dipimpin oleh Sultan Hasanudin, kerajaan mengalami kekalahan melawan VOC yang dipimpin Laksamana Cornelis Janszoon Speelman pada 18 November 1667. Akibatnya Sultan Hasanudin terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya yang salah satu pasalnya mengharuskan kerajaan untuk menyerahkan Benteng Ujung Pandang kepada Belanda.
Di bawah Belanda, bangunan itu berganti nama menjadi Fort Rotterdam. Benteng tersebut menjadi pusat kekuasaan kolonial di Sulawesi sejak saat itu.
Pangeran Diponegoro pernah ditahan di Benteng Rotterdam. Dia dijaga ketat dan tidak bisa berinteraksi dengan dunia luar meskipun pemerintah Hindia Belanda mengizinkannya menulis selama ditahan.
Selama penahanannya, ia mencatat berbagai catatan tentang budaya Jawa antara lain wayang, mitos, sejarah, ilmu pengetahuan sesuai dengan ilmu yang dimilikinya saat itu. Ia juga menulis dua naskah tentang sejarah Ratu Tanah Jawa dan Sejarah Jawa dengan menggunakan aksara pegon (aksara Arab yang dimodifikasi).
Kondisi fisiknya terus memburuk selama dalam tahanan dan Pangeran Diponegoro akhirnya meninggal pada Senin, 8 Januari 1855. Ia dimakamkan di Kampung Melayu, Jalan Diponegoro, Makassar.