TERLETAK di antara persawahan di Desa Kuta Karang, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, terdapat sebuah masjid besar berwarna putih berhiaskan dua kubah di atasnya.
Tak lama, warga mulai keluar dari masjid usai menunaikan salat Ashar berjamaah. Pohon kelapa di samping masjid memberikan keteduhan bagi mereka.
Jika seseorang melewati bangunan masjid besar berwarna putih, ia kemudian akan menemukan bangunan yang lebih kecil dan lebih sederhana di samping masjid.
Baca Juga:Kepada Andika Kangen Band dan Rizal Armada, Tri Suaka Minta MaafSandiaga Uno Apresiasi Upaya Agnes Mo Kenalkan Masakan Indonesia ke Amerika Serikat
Ternyata, bangunan yang lebih kecil itu juga merupakan masjid, sebagaimana ditunjukkan oleh tanda di depannya yang mengidentifikasi nama masjid tersebut sebagai Masjid Teungku Syiek Kuta Karang.
Seorang pria kemudian mendekati tanda masjid, dan dia menyapa “Assalamualaikum” (saw) kepada orang-orang yang lewat. Dia adalah Ikhwani, warga sekitar yang membantu merawat masjid.
Ikhwani kemudian mengungkapkan bahwa masjid yang lebih kecil memiliki sejarah panjang, fakta yang memotivasi dia untuk membantu mengelola bangunan tua setiap hari.
“Masjid ini dibangun pada tahun 1860, sekitar 13 tahun sebelum kedatangan Belanda ke Aceh. Belanda pertama kali masuk ke Aceh pada tahun 1873,” ungkap warga tersebut.
Sejak dibangun oleh ustadz Teungku Syiek Kuta Karang sehingga mesjid ini mendapatkan namanya, masjid ini baru dua kali direnovasi yaitu pada tahun 1951 dan pada bulan November 2018.
Pekerjaan renovasi tersebut antara lain mengganti dinding masjid dari kayu menjadi batu, mengganti lantai masjid dengan keramik, dan sedikit meninggikan lantai masjid. Mihrab, tempat Imam yang memimpin shalat berjamaah berdiri, dibuat permanen dengan menggunakan semen.
Meski telah direnovasi, bentuk dan ukuran masjid tetap tidak berubah. Beberapa fitur asli masjid, seperti tiang kayu asli di dalam masjid dan atap masjid, masih dipertahankan. (*)