Presiden Joko Widodo resmi melarang ekspor minyak goreng mulai Kamis, 28 April.
“Hari ini saya memimpin rapat untuk membahas kebutuhan dasar masyarakat, terutama yang berkaitan dengan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri. Saya putuskan pemerintah akan melarang ekspor minyak goreng dan bahan baku minyak goreng mulai Kamis, 28 April 2022 sampai ditentukan lain,” kata Jokowi dalam keterangan pers, Jumat (22/4).
Bagaimana nasib petani sawit dengan kebijakan ini?
Berdasarkan keterangan resmi dari Sekretariat Kabinet, Rabu (27/4), Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan perusahaan tetap bisa membeli tandan buah segar (TBS) dari petani kelapa sawit.
Baca Juga:Alasan di Balik Ritual Minum Darah Megan Fox dan Machine Gun KellyElon Musk Klarifikasi Pernyataan Soal ‘Kebebasan Berbicara’ di Twitter
Hal itu, kata dia, karena larangan ekspor hanya berlaku untuk produk RBD Palm Olein dengan tiga kode Harmonized System (HS): 1511.90.36, 1511.90.37, dan 1511.90.39. Sedangkan CPO dan RPO masih bisa diekspor sesuai kebutuhan.
“Kebijakan ini sejalan dengan ketentuan Pasal XI GATT yang mengatur bahwa negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia dapat menerapkan larangan atau pembatasan ekspor sementara untuk mencegah atau mengurangi kekurangan bahan makanan atau produk penting lainnya. Larangan ekspor RBD Palm Olein berlaku untuk semua produsen yang memproduksi produk RBD Palm Olein,” kata Airlangga.
Keprihatinan terhadap nasib petani sawit diutarakan oleh anggota Komite IV DPR Mohamad Hekal saat rapat kerja antara panitia dan Menteri Perdagangan pada 17 Maret, lapor Detikcom.
Politisi Partai Gerindra itu saat itu menasihati agar kebijakan tersebut tidak merugikan petani sawit yang menggantungkan hidupnya pada komoditas tersebut.
“Kami minta petani sawit dilindungi. Mengingat hal ini akan mempengaruhi penghidupan petani sawit yang jumlahnya signifikan,” ujarnya.
Di sisi lain, Hekal berharap pelarangan ekspor tersebut dapat memberikan efek jera kepada produk kelapa sawit sehingga memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi untuk mengutamakan kebutuhan masyarakat yang membutuhkan minyak goreng di dalam negeri.
“Kami berharap perusahaan sawit bisa memberikan kontribusi kepada masyarakat. Tapi ini ternyata sangat sulit karena mekanisme pengelolaan kelapa sawit di Indonesia lemah secara regulasi,” katanya. (*)