SEJAK 15 April, tentara dan polisi pendudukan Israel telah menggerebek Al-Haram Al-Sharif di Yerusalem Timur setiap hari. Dengan dalih memberikan perlindungan untuk “kunjungan” provokatif oleh ribuan pemukim Yahudi ilegal Israel dan fanatik sayap kanan, tentara Israel telah melukai ratusan warga Palestina, termasuk jurnalis, dan menangkap ratusan lainnya.
Warga Palestina memahami bahwa serangan yang sedang berlangsung di kompleks Masjid Al-Aqsa membawa makna politik dan strategis yang lebih dalam bagi Israel daripada serangan sebelumnya.
Al-Aqsa telah mengalami serangan rutin oleh pasukan Israel dengan berbagai kedok di masa lalu. Namun, masjid telah memperoleh makna tambahan dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah pemberontakan rakyat Palestina Mei lalu, protes massa, bentrokan dan perang Israel di Gaza, yang disebut Palestina sebagai Operasi Saif Al-Quds (Pedang Yerusalem). Bagi warga Palestina, signifikansi Al-Aqsa telah meningkat karena pendudukan Israel, yang selama bertahun-tahun menargetkan masjid, gereja, dan tempat suci Palestina lainnya. Misalnya, selama perang Israel tahun 2014 di Jalur Gaza yang terkepung, Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Palestina melaporkan bahwa 203 masjid dirusak oleh bom Israel, dengan 73 hancur total.
Baca Juga:Pengaruh Krisis Rusia-Ukraina pada Situasi Semenanjung KoreaMelawan Radikalisme Minoritas Oliqarki dan Dampaknya Bagi Generasi Muda
Secara historis, Al-Haram Al-Sharif—Tempat Suci yang Mulia—telah menjadi jantung perjuangan rakyat di Palestina, serta pusat kebijakan Israel. Terletak di Kota Tua, tempat suci ini dianggap sebagai salah satu situs tersuci dalam Islam, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits — ucapan Nabi Muhammad. Kompleks ini berisi beberapa masjid bersejarah, termasuk Al-Aqsa, dan 17 gerbang, bersama dengan situs-situs Islam penting lainnya.
Oleh karena itu, Muslim Palestina, serta Kristen, menganggap Al-Aqsa, tempat suci dan situs Muslim dan Kristen lainnya di Yerusalem sebagai garis merah yang tidak boleh dilintasi oleh Israel. Generasi demi generasi, mereka telah memobilisasi untuk melindungi situs-situs tersebut, meskipun terkadang mereka tidak bisa, seperti pada tahun 1969, ketika ekstremis Yahudi Australia Denis Michael Rohan melakukan serangan pembakaran di Masjid Al-Aqsa.
Bahkan penggerebekan baru-baru ini di masjid tidak terbatas pada melukai tubuh dan penangkapan massal jemaah. Pada tanggal 15 April, Jumat kedua Ramadhan, jendela kaca patri masjid yang terkenal itu pecah dan perabotan di dalamnya dibiarkan pecah.