Kejadian ini menjadi wake up call bagi China untuk mengencangkan ikat pinggang politiknya, menyiapkan infrastruktur politik yang kuat sebelum melakukan liberalisasi ekonomi, agar Partai tidak kolaps. Dan dua tahun kemudian, China menyadari itu benar. Karena di sisi lain, Partai Komunis Soviet runtuh pada tahun 1991 ketika mencoba mendorong liberalisasi ekonomi dan politik secara bersamaan. China semakin yakin akan ada dampak politik jika ekonomi segera dibuka. Oleh karena itu, Cina mengambil jalan tengah, liberalisasi ekonomi bertahap, yang dimulai kembali setelah tur Deng Xiaoping ke Cina selatan (dikenal sebagai tur selatan Deng) yang menyelesaikan status Kawasan Ekonomi Khusus di Shenzhen, Jhuhai, Goungzhou, dan lainnya.
Namun jauh sebelum China mengalami goncangan politik atas liberalisasi ekonominya, Indonesia pertama kali didatangi goncangan politik atas kebijakan liberalisasi investasinya, yaitu peristiwa pada tanggal 15 Januari 1974 (Malari) yang berujung pada kerusuhan. Sama seperti Partai Komunis China, Orde Baru mengencangkan ikat pinggang politik, memukuli demonstran hingga tewas. Partai Komunis China selamat, Orde Baru juga. Suharto tidak bisa digoyahkan saat itu. Yang terjadi bahkan tujuh bulan kemudian, pada 9 Agustus 1974, adalah presiden Amerika yang mengundurkan diri dari jabatannya, Richard Nixon, karena tersengat kasus Watergate.
Namun, pada 1997-1998, hegemoni Orde Baru dan “Pak Harto” tak mampu lagi menahan gejolak penolakan. Orde Baru berakhir dan digantikan oleh era reformasi yang berlanjut hingga saat ini. Dari Habibie hingga Gus Dur. Setelah Gus Dur ditundukkan, Megawati naik tahta. Kemudian, era demokrasi elektoral yang kompetitif dimulai setelah terpilihnya SBY (Susilo Bambang Yudoyono) sebagai presiden pertama melalui pemilihan langsung. Namun, pergantian Orde Baru dengan Orde Reformasi tidak serta merta mengubah karakter ekonomi politik Indonesia. Para oligarki yang beralih dari kekuasaan monolitik Suharto ke era politik pasar bebas perlahan-lahan mengubah wajah reformasi ekonomi politik menjadi sangat “oligarkis”, seperti yang dirasakan masyarakat Indonesia saat ini.
Baca Juga:Penangkapan Tersangka Kartel Migor Bukan Gimmick Politik, Dugaan Rocky Gerung: Strategi Pemerintah ‘Kucing Mati’Amankan Idul Fitri 1443 Hijriyah, Danrem 063/SGJ Siapkan 3.500 Personel Bantu Polri
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terbilang baik memang tidak terlalu merata. Menurut rumusan Thomas Pikety, “laba atas investasi” Indonesia jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi (r > g). Kenaikan tahunan IHSG (IHSG) jauh di atas laju pertumbuhan ekonomi sehingga kekayaan pemilik modal berlipat ganda. Akibatnya, perhatian terhadap kesetaraan dan kesejahteraan kurang diperhatikan. Sementara China yang saat itu belum membuka pasar keuangannya hampir tidak terpengaruh oleh krisis keuangan Asia 1997. Sejak 1992 (wisata selatan Deng), Cina telah mengalami percepatan dengan angka pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Indonesia telah bergeser dari “ekonomi Pancasila” menjadi “oligarki Pancasila” yang tidak hanya di sektor ekonomi, tetapi juga merambah ke kursi-kursi penting di kabinet Jokowi.