UTANG pemerintah sebesar Rp7.000 triliun belum bisa diverifikasi dan divalidasi karena menurut data Bank Indonesia (BI), angka terakhir hingga Februari sebesar Rp5.956 triliun. “Jadi, pertanyaannya siapa yang harus kita percayai, BI atau Kementerian Keuangan?” kata ekonom Ichsanuddin Noorsy kepada Independent Observer (13/4).
“Kalau angkanya beda, maka statusnya seperti data BPS, banyak bias dan ketidakpastian. Hal ini menunjukkan tingkat keamanan utang yang bermasalah. Rasio utang terhadap layanan (DSR) adalah 34,5% dari PDB, terus menurun dari 39%.”
Menurut Ichsanuddin, penurunan 34,5% menunjukkan utang Indonesia masih rentan karena pertama, komponen dolar tetap tinggi, artinya setiap fluktuasi dolar AS akan mempengaruhi DSR karena pangsanya sekitar 60%.
Baca Juga:Presiden Pemuda Mesir: Indonesia Memiliki Hubungan yang Kuat dengan MesirProdusen Kopi Indonesia Invasi Pasar ke Kanada, Jerman, dan Filipina
Kedua, Indonesia juga terikat pada suatu perjanjian dimana negara tersebut tidak dapat menuntut negara lain untuk membayar dalam rupiah. Ketiga, Indonesia juga belum memiliki nilai tambah pada produk dan layanannya. Keempat, industri manufaktur dan banyak industri lainnya dikuasai asing.
Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya tidak memiliki kemampuan untuk membayar utangnya. Memang selisih utang pemerintah (50,36%) dan utang swasta (49,64%) hanya 0,6%. Ini sebenarnya menunjukkan bahwa struktur utang rentan dan berbahaya karena ketika sektor swasta gagal membayar utangnya, pemerintah harus menanggungnya.
Selanjutnya, utang tersebut dikeluarkan melalui proyek turnkey yang tidak dicatat oleh BI atau Kementerian Keuangan melainkan Kementerian BUMN. Sementara proyek turnkey seperti kereta cepat bisa tiba-tiba membebani APBN. Sekarang ini berbahaya karena tanggung jawab tetap ada pada negara.
“Banyak pejabat pemerintah yang berpendapat bahwa tingkat utang masih aman dan suka membandingkan utang Indonesia dengan Jepang dan Amerika. Tapi perbandingannya bukan apple to apple, karena Jepang meminjam dari dirinya sendiri, begitu juga Amerika.
“Dalam pandangan saya, situasi utang sekarang adalah lampu kuning, belum lampu merah. Dilihat dari DSR sejak Jokowi berkuasa, belum ada pencapaian luar biasa untuk mengurangi beban utang. Dan itu terlihat dari angka DSR. Saya sudah membicarakan ini sejak 2015.”
Jadi apa yang menyebabkan ini? Karena Indonesia terikat ketentuan yang menjerat dirinya sendiri, misalnya UU 2/2020 memungkinkan Kementerian Keuangan menjual surat utangnya ke BI dengan bunga nol persen. Undang-undang ini hanya berlaku tiga tahun dan diperkirakan pada 2023 beban APBN akan semakin berat karena IMF melarang BI memberikan pinjaman dengan bunga nol persen.