Rusia menguasai 40% pasokan gas negara-negara anggota UE. Pemerintah memiliki kendali penuh atas pasokan dan distribusi gas Rusia oleh Gazprom, sebuah perusahaan pemasok gas milik negara. Gas jelas kekurangan pasokan di Uni Eropa untuk pembangkit listrik dan transportasi. Uni Eropa dan Gazprom memiliki dua jenis perjanjian: perjanjian jangka panjang dan pembelian berkala berdasarkan pengukuran volume.
Dari Rusia hingga benua Eropa, setidaknya ada lima jalur distribusi gas. Jika, misalnya, Gazprom menutup pipa gas Nord Stream 1 dan 2, serta Pipa Yamal, dan perang Rusia-Ukraina berlanjut, Eropa mungkin menghadapi bencana gas.
Ketergantungan UE pada gas Rusia adalah salah satu alasan mengapa negara-negara di benua biru tampak lebih kaku dalam pendekatan mereka terhadap krisis Rusia-Ukraina. Namun, keadaan ini dapat “dimanfaatkan” oleh Indonesia.
Baca Juga:Apakah Puasa Aman Bagi Ibu Hamil dan Menyusui?Ternyata Ini Asal Muasal Ondel-Ondel Betawi
Jika perang berlanjut, negara-negara Eropa akan membutuhkan sumber daya alternatif untuk pembangkit listrik karena prospek pasokan gas terbatas dari Rusia. Energi batubara diharapkan dapat dilihat sebagai pilihan yang paling mungkin. Mengingat Indonesia merupakan negara pengekspor batu bara terbesar kedua di dunia, pemerintah patut prihatin. Memang, Uni Eropa telah membuat komitmen jangka panjang untuk menghentikan penggunaan batu bara. Namun, menurut statistik Reuters, impor batu bara Uni Eropa naik 35,1 persen pada Desember 2021.
Indonesia memiliki kemampuan untuk memainkan peran penting dalam mengelola harga batubara. Misalnya, Indonesia mungkin membatasi pasokan batu bara ke sepuluh negara tujuan ekspor dan menawarkan batu bara dari Indonesia ke Uni Eropa. Indonesia dapat mengambil manfaat dari kemungkinan kenaikan harga batu bara, yang sebelumnya turun, di bawah pengaturan ini.
Indonesia juga dapat menggunakan tekanan politik untuk membujuk Uni Eropa agar membatalkan kasus WTO pemerintah Indonesia yang menentang pembatasan ekspor nikel, atau untuk meningkatkan posisi negosiasi Indonesia dalam perjanjian perdagangan lain antara Uni Eropa dan Indonesia.
Hingga saat ini, rencana G20 masih abu-abu terkait implementasinya, terutama setelah kabar absennya banyak negara, terutama Amerika karena rencana kehadiran Putin di G20 Indonesia. Hal ini jelas akan merugikan Indonesia sebagai tuan rumah, apalagi jika dibatalkan, Indonesia akan kehilangan banyak kesempatan dan peluang untuk melakukan diplomasi dalam banyak hal yang akan menguntungkan Indonesia. Hal ini karena inti utama dari pembentukan G20 adalah pencapaian kesepakatan ekonomi dan kesejahteraan antar negara, tidak berfokus pada masalah perang dan penyelesaiannya.