NEGARA Sri Lanka sangat mencemaskan. Ia dihadapkan pada permasalahan gagal bayar utang luar negeri sebesar US$ 51 miliar atau setara dengan Rp 729 triliun (asumsi kurs Rp 14.300).
Krisis ekonomi, gelombang kemarahan dan protes menuntut pemerintah mundur mewarnai Sri Lanka beberapa pekan terakhir ini. Rakyat menyerbu rumah-rumah pejabat pemerintahan disambut pasukan keamanan dengan gas air mata dan peluru karet.
Kementerian Keuangan Sri Lanka menyatakan telah gagal membayar semua utang luar negeri, termasuk pinjaman dari pemerintah asing menjelang dana talangan IMF.
Baca Juga:Pergi Mancing di Perairan Otakwa, Tim SAR Timika Cari Dua Pemancing yang Dilaporkan Hilang Sejak 7 AprilDemo 11 April, Ada Mahasiswa Bawa Poster Bertuliskan “Jangan Fokus Bokep Terus, Minyak Langka, Naik, Urus!!!”
“Pemerintah mengambil tindakan darurat hanya sebagai upaya terakhir untuk mencegah penurunan lebih lanjut dari posisi keuangan,” bunyi pernyataan kementerian dikutip dari NDTV, Rabu (13/4/2022).
Kreditur bebas membebankan bunga apa pun kepada Sri Lanka atau memilih pembayaran utang dalam mata uang rupee Sri Lanka.
Krisis ekonomi Sri Lanka dimulai dari ketidakmampuan mengimpor barang-barang penting setelah pandemi COVID-19, menekan pendapatan dari pariwisata, dan pengiriman uang.
Pemerintah memberlakukan larangan impor yang luas untuk menghemat cadangan devisa dan menggunakannya untuk membayar utang yang kini gagal bayar.
Para ekonom mengatakan krisis diperburuk oleh pemerintah yang salah urus, akumulasi utang, dan pemotongan pajak yang salah.
Warga Sri Lanka harus antre panjang untuk membeli bensin, gas, dan minyak tanah yang langka untuk memasak. Ribuan orang berkemah di luar kantor presiden dan menyerukan agar mundur. (*)