Hanya saja, kata dia, perintah puasa Ramadhan tersebut masih bersifat pilihan. Di mana, bagi yang mampu untuk berpuasa, masih diberikan pilihan antara berpuasa atau membayar fidyah. Sebagaimana pernyataan Muadz berikut.
Dari Mu’adz bin Jabal RA: … Lalu turunlah wahyu, “Diwajibkan atas kalian berpuasa…” (QS al-Baqarah: 183). Maka ditetapkan, bagi yang hendak berpuasa, maka hendaklah ia berpuasa, dan bagi yang hendak tidak berpuasa danmemberi fidyah, hal itu dibolehkan. (HR Abu Dawud).
Fase ketiga: Tahun 2 Hijriyyah
Pada tahun ke-2 Hijriyah, setelah turun QS Al-Baqarah: 185, lantas puasa Ramadhan diwajibkan bagi yang mampu. Dan bagi yang tidak mampu, tetap dibolehkan untuk tidak berpuasa, dengan cara menggantinya dengan membayar fidyah.
Baca Juga:Selain PPKM Level 2, Ratusan Tempat Hiburan Malam di Jakarta Barat Dilarang Beroperasi di Bulan RamadhanMUI Bogor Terbitkan Maklumat Imbauan Tidak Gelar Buka Puasa Bersama
“Bulan Ramadhan adalah bulan yang diturunkan di dalamnya Alquran sebagai petunjuk bagi manusia, dan penjelas atas petunjuk tersebut serta sebagai al-furqan pembeda antara hak dan batil. Maka barang siapa di antara kalian yang menyaksikan bulan (Ramadhan), maka berpuasalah. (QS. Al-Baqarah: 185).
Puasa marupakan salah satu ibadah yang memiliki nilai pahala besar dalam syariat Islam. Bahkan secara khusus, syariat menginformasikan secara gamblang akan janji surga yang dikhususkan bagi ahli puasa.
Dari Sahal RA: Dari Nabi saw: Dalam surga ada sebuah pintu yang disebut pintu ar-Rayyan. Yang masuk melalui pintu itu di hari kiamat hanyalah orang-orang yang berpuasa, yang lainnya tidak
masuk lewat pintu itu. Dan diserukan saat itu, “Manakah orang-orang yang berpuasa?.” Maka mereka yang berpuasa bangun untuk memasukinya, sedangkan yang lain tidak. Bilamana merea telah masuk, maka pintu itu ditutup dan tidak ada lagi yang bisa memasukinya.” (HR Bukhari Muslim). (*)