Tradisi Nyorog Orang Betawi Sambut Bulan Suci Ramadhan

Tradisi Nyorog Orang Betawi Sambut Bulan Suci Ramadhan
Silaturahmi orang Betawi tempo dulu. (geheugen.delpher.nl)
0 Komentar

KETERBUKAAN etnis Betawi melanggengkan tradisi leluhur tak perlu diragukan. Segala macam tradisi lokal dengan muatan nilai kehidupan diterimanya dengan luwes. Dalam tradisi Nyorog, misalnya. Nyorog dulu kala identik dengan tradisi memberi sesajen kepada Dewi Sri: simbol kemakmuran.

Kemudian, Nyorog disesuaikan dengan nilai Islam untuk menyambut bulan Ramadan. Orang Betawi saling berkunjung membawa makanan dan bingkisan untuk sanak saudara. Nyorog pun dikenal sebagai ajang silaturahmi.

Tindak-tanduk kehidupan orang Betawi acap kali memunculkan kekaguman. Semua itu berkat etnis Betawi dikenal sebagai salah satu etnis paling terbuka dan toleran di Nusantara. Salah satu bentuk dari keterbukaan itu adalah kemampuan orang Betawi melestarikan tradisi milik nenek moyang.

Baca Juga:Kemendag Khawatir Invasi Rusia Bikin Pasokan Bahan Pokok Impor Terganggu: Harga Gandum, Sapi dan Gula Berpotensi NaikKemenag Pastikan 101 Titik Pemantauan di 34 Provinsi Posisi Hilal 1 Ramadhan Belum Terlihat

Kemampuan itu laksana wujud orang Betawi dalam membedah suatu tradisi. Antara tradisi yang muncul dari kepercayaan nenek moyang, dan tradisi dari kepercayaan agama. Pun orang Betawi berani menggabungkan keduanya. Dengan catatan, suatu tradisi memiliki nilai-nilai yang dapat berguna bagi kehidupan bermasyarakat.

Bagi orang Betawi, budaya lelulur wajib dilestarikan. Supaya tak lupa asal-usul, pikirnya. Apalagi jauh sebelum Islam, orang betawi pernah merasakan dominasi fase kepercayaan berbasis animisme, kemudian Hindu. Lalu Islam jadi agama yang menyusul belakangan. Fakta itu menjadikan jejak kebudayaan nenek moyang tidak hilang begitu saja. Pun pada saat Islam masuk Betawi.

Segenap orang Betawi mampu menerima Islam sebagai agama. Meski begitu, budaya lelulur tak serta-merta dilupakan. Orang Betawi pun mulai menyesuaikan budaya leluhur dengan nafas ajaran Islam. Misalnya, dulu tradisi tahlilan yang bersifat animisme, kemudian disesuaikan menjadi upacara yang bernafaskan Islam dengan bacaan doa-doa Islam.

Pedagang buah biasanya paling diserbu masyarakat Betawi tempo dulu saat bulan suci Ramadan. (geheugen.delpher.nl)

Kemampuan itu laksana wujud orang Betawi dalam membedah suatu tradisi. Antara tradisi yang muncul dari kepercayaan nenek moyang, dan tradisi dari kepercayaan agama. Pun orang Betawi berani menggabungkan keduanya. Dengan catatan, suatu tradisi memiliki nilai-nilai yang dapat berguna bagi kehidupan bermasyarakat.

Bagi orang Betawi, budaya lelulur wajib dilestarikan. Supaya tak lupa asal-usul, pikirnya. Apalagi jauh sebelum Islam, orang betawi pernah merasakan dominasi fase kepercayaan berbasis animisme, kemudian Hindu. Lalu Islam jadi agama yang menyusul belakangan. Fakta itu menjadikan jejak kebudayaan nenek moyang tidak hilang begitu saja. Pun pada saat Islam masuk Betawi.

0 Komentar