Seorang pelacur tidak datang dengan sendirinya. Banyak diantaranya diambil paksa, terutama pada abad ke-18 saat perdagangan rempah marak. Di Jakarta misalnya, mereka yang menjadi pelacur adalah orang yang menjadi budak.
Menurut Junus, pelacuran di Jakarta memiliki hirarki. Terutama yang lokasinya berada di dalam benteng kota. Itu khusus untuk orang Belanda. Sedankan yang di luar benteng seperti di pelabuhan adalah pelacuran dengan hirarki yang rendah.
“Ada wanita dalam dan luar tembok. dalam tembok itu yang elit, luar tembok yang agak kurang keren. Dari situ muncul bordil, yang dikelola secara profesional oleh pengusaha Belanda. mereka membayar pajak oleh karena itu sah. Rumah bordil menjadi rumah kesenangan,” ucap Junus.
Baca Juga:Perang Elektronik Menentukan Konflik Modern, Salah Satunya, Krisis Rusia-UkrainaHotman Paris Galau di Depan Menkeu Sri Mulyani, Ada Apa?
Junus menambahkan bahwa pelacur yang digemari saat itu adalah yang berbadan gemuk. Risiko penyakit tertular seperti sifilis saat itu pun sudah rawan terjadi. (*)