Tradisi nyadran telah ada pada masa Hindu-Budha sebelum agama Islam masuk di Indonesia. Zaman kerajaan Majapahit tahun 1284 ada pelaksanaan seperti tradisi nyadran yaitu craddha. Ada persamaan tradisi pada kegiatan manusia dengan leluhur yang sudah meninggal seperti sesaji dan ritual sesembahan untuk penghormatan terhadap leluhur yang telah meninggal.
Siklus Hidup
Tradisi nyadran merupakan ritual yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dengan memanjatkan doa selamatan. Pelaksanaan tradisi nyadran pada Hindu-Budha menggunakan puji-pujian sebagai perlengkapan ritualnya sedangkan ketika penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh para Wali Songo diakulturasikan dengan doa-doa yang bersumber dari Al-Quran.
Masyarakat Jawa kuno meyakini bahwa leluhur yang sudah meninggal sejatinya masih ada dan mempengaruhi kehidupan anak cucu atau keturunannya. Pengaruh agama Islam, ada pergeseran makna nyadran sebagai kirim doa untuk keluarga yang telah tiada. Pelaksanaan nyadran sebagai sarana introspeksi atau perenungan terhadap segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama satu tahun.
Baca Juga:Warga Panik Berhamburan, Gempa Bermagnitudo 4.9 Guncang KendariAktor The Stranded, Beam Papangkorn Meninggal Dunia Ditemukan Tak Sadarkan Diri
Secara etimologis, nyadran berasal dari bahasa Sanskerta, sraddha yang artinya keyakinan. Nyadran adalah tradisi pembersihan makam oleh masyarakat Jawa, umumnya di pedesaan. Dalam bahasa Jawa, nyadran berasal dari kata sadran yang artinya ruwah syakban. Nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur.
Kegiatan menyelanggarakan kenduri diawali dengan pembacaan ayat Al-Quran, zikir, tahlil, dan doa, kemudian ditutup dengan makan bersama. Dipimpin oleh seorang tokoh agama atau masyarakat desa sering menyebut dengan mudin. Kemudian kegiatan gotong royong melakukan pembersihan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan. Dan terakhir, melakukan ziarah dengan berdoa kepada roh yang telah meninggal di area makam.
Nyadran dilaksanakan selama hari ke-10 bulan Rajab, atau saat datangnya bulan Syaban . Dalam ziarah kubur, biasanya membawa bunga terutama bunga telasih. Bunga ini sebagai lambang adanya hubungan yang akrab antara peziarah dengan arwah yang diziarahi. Masyarakat yang mengikuti nyadran berdoa untuk kakek-nenek, bapak-ibu serta saudara-saudara yang telah meninggal. Seusai berdoa mengelar kenduri dengan makan bersama sepanjang jalan mengelar tikar dan daun pisang.