Dalam studi yang berkaitan dengan program bantuan Marshall, penangguhan bantuan kepada koloni Belanda di Indonesia, dan ancaman yang tampak untuk menghentikan aliran dolar ke Belanda, telah digunakan sebagai contoh untuk membuktikan bahwa program tersebut adalah instrumen Amerika kekuatan politik.
Tom van den Berge, salah satu penulis dari KITLV menyebut, Menlu AS George C. Marshall menetapkan kebijakannya tentang konflik dalam sebuah memorandum kedutaan AS di Den Haag tahun 1947. Marshall menimbang, gerakan nasionalisme di Asia Tenggara sebenarnya merupakan masalah strategis bagi kolonialisme Eropa dan AS.
Ia memikirkan bagaimana bagaimana caranya agar wilayah-wilayah itu bisa bekerja sama dengan negara-negara Barat .
Baca Juga:Jejak Uranium Bahan Baku Nuklir, Ternyata Sudah Digunakan Orang Romawi KunoFerry Irawan Kaget Biaya Nikah Dikira Gratis Semua, Begini Tanggapan Elma Theana
Oleh karena itu,” tulis Van den Berge, “sangatlah penting bahwa Belanda dan Republik [Indonesia] harus mencapai penyelesaian damai yang memenuhi aspirasi keduanya.” Pihak Washington yakin, masalah politik bisa ditangani, tetapi perkara ekonomi maslih saling bertentangan.
“Di mana pertanyaannya adalah,” lanjutnya “Apakah kepulauan Indonesia akan berkembang menjadi ekonomi terbuka atau lebih tertutup, adalah tugas yang sangat besar, yang dianggap Marshall tidak kalah pentignya daripada mencari solusi untuk perselisihan politik. Tidak sendiri, Prancis yang juga sekutunya juga punya ambisi yang sama untuk mengambil kembali koloninya yang diambil Jepang, Indocina. Nasib Indocina juga saat itu sama dengan Indonesia yang memerdekakan diri menjadi Vietnam setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.
Vietnam dan Indonesia akhirnya mendukung satu sama lain untuk mewujudkan kemerdekaan. Bahkan pada 17 November 1945, Ho Chi Minh menyampaikan kepada Sukarno untuk membuat ‘Deklarasi Bersama Vietnam dan Indonesia’. Tujuan deklarasi ini agar tersampaikan kepada publik dan mengajak negeri-negeri terjajah di Asia seperti India, Burma, dan Malaya, bisa bergabung.
Namun, Perdana Metneri Luar Negeri Sutan Sjahrir belum merespon balik. Menurutnya, aliansi dengan komunis Vietnam justru akan melemahkan posisi Indonesia untuk mewujudkan Indonesia merdeka.
“Setelah ‘Deklarasi bersama’, Indonesia dan Vietnam masih saling mendukung, tetapi hubungan antara kedua negara tampaknya tidak bersifat struktural,” tulis Van den Berge. Tetapi, hubungan kedua negara itu sangat sifnifikan pada Konferensi Hubungan Asia di New Delhi 1947 untuk mewujudkan kemerdekaan mereka.