SEBAGAI bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi, harga jual Pertamax yang diproduksi oleh PT Pertamina (Persero) semestinya mengikuti harga pasar.
Harga jual Pertamax yang dipatok pemerintah sebesar Rp 9.000 per liter sudah jauh di bawah nilai keekonomian mengingat harga minyak dunia saat ini sudah di atas US$ 100 per barrel, jauh melampaui asumsi Indonesian Crude Price (ICP) dalam APBN 2022 yang hanya US$ 63 per barel.
Padahal para pesaing Pertamina menjual produk BBM setara Pertamax dengan kadar oktan (RON) 92 itu di kisaran Rp 11.900- 12.990 per liter.
Baca Juga:Kapolri Pastikan Ketersediaan Minyak Goreng Curah Cukup Jelang RamadhanIndra Kenz Tampil Berambut Cepak, Tabungan Kriptonya Tembus Rp 58 Miliar, Polri: Kami Akan Terus Kejar Keluar Negeri
Dari lima jenis BBM nonsubsidi yang didistribusikan PT Pertamina, baru tiga jenis BBM yang harganya sudah disesuaikan, yaitu Pertamax Turbo, Pertadex, dan Dexlite, yang volume penjualannya hanya 3% secara nasional dan dikonsumsi oleh masyarakat mampu. Sementara Pertamax yang volumenya penjualannya sekitar 14%, harganya ma sih tetap bertahan sejak lebih dari dua tahun lalu.
Sama halnya harga BBM nonsubsidi jenis Pertalite (RON 90) yang juga tidak boleh dinaikkan, sebesar Rp 7.650 per liter, meski sudah jauh di bawah harga keekonomian. Harga minyak yang terus naik di atas US$ 100 per barel telah menggerus arus kas (cashflow) Pertamina. Karena bukan BBM bersubsidi, gap harga Pertalite dan Pertamax menjadi beban Pertamina yang semakin lama menjadi semakin berat.
Akibat lonjakan harga minyak mentah, Pertamina kini mengalami ketimpangan arus kas (cashflow mismatch) serius. Itu terjadi karena Pertamina harus membeli minyak mentah setiap hari, namun piutang Pertamina baru dibayar pemerintah beberapa tahun kemudian.
Dalam empat tahun terakhir atau sejak 2017, akumulasi piutang Pertamina mencapai Rp 100 triliun lebih. Dengan kenaikan harga minyak saat ini, Pertamina terpukul dua kali.
Pertama, terkena biaya dana (cost of money) karena dana yang disediakan Pertamina untuk pengadaan dan pendistribusian BBM berasal dari pinjaman.
Kedua, terkena perubahan nilai uang akibat pergeseran waktu (time value of money/ TVM). Untuk TVM saja, biayanya mencapai US$ 1 miliar. Jika tidak diambil langkah-langkah penyelamatan yang menjadi hak Pertamina, kondisi arus kas BUMN migas ini makin babak belur. Untuk menyelamatkan arus kas Pertamina, cara yang paling rasional adalah menaikkan harga Pertalite dan Pertamax.