ADA ‘raksasa’ gula terkenal dari Lampung, Sumatra bagian selatan, bernama PT Sugar Group Companies (SGC). Riwayat raksasa gula tak bisa disebut anak kemarin sore.
SGC berdiri sejak 1975 dan riwayat berdirinya terkait dengan taipan legendaris bernama Liem Sioe Liong atau Om Liem, yang merupakan kolega bisnis dari raja gula dari negeri jiran yang ikut bisnis gula di Lampung bernama Robert Kuok.
Dulu, Salim Group milik Om Liem memang berhasrat membesar di bisnis gula ini. Pada 1997, Salim Group berusaha memperluas produksinya. Presiden kedua RI Jenderal Besar H.M. Soeharto dalam Berita: 1997 (2008:320) mencatat Salim Group merencanakan membuka perkebunan tebu dan membangun pabrik gula lagi di Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan total investasi Rp350 miliar. Industri itu akan menyerap tenaga kerja sedikitnya 10.000 orang. Rencana itu lalu berantakan.
Baca Juga:Invasi Rusia ke Ukraina Makan Korban Baru, Investor Asing Ramai Tinggalkan TaiwanKetua Mufti Dewan Pusat Muslim Rusia Talgat Tajuddin Dukung Vladimir Putin Lakukan Operasi Militer Khusus Rusia ke Ukraina
Di Lampung, di bawah SGC Lampung sendiri Liem disebut Tempo (02/03/2003) terlibat dalam pengelolaan lahan tebu sebesar 61 ribu hektare. Produksi gula SGC di sekitar 1997 saja mencapai 450 ribu ton tiap tahun, setara 30 persen produksi gula nasional pada 1997.
Setelah 1998, Salim Group tak merasakan lagi manisnya bisnis gula. Sebab pada 1999 SGC yang terkait dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kemudian dimasukkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Hingga kemudian lepas dari Salim Group.
“Pihak BPPN kemudian menjual SGC kepada pemilik baru, yakni PT GPA (PT Garuda Pancaarta) milik Gunawan Yusuf. Dalam pembelian saham SGC dari BPPN melalui mekanisme lelang, GPA harus merogoh kocek hingga Rp 1,16 triliun” tulis Djony Edward dalam BLBI extraordinary crime satu analisis historis dan kebijakan (2010:443). Ketika baru memiliki, pembeli SGC merasa dapat masalah.
“Para pembeli mengatakan bahwa mereka tidak dapat memanfaatkan perkebunan yang mereka beli karena adanya sengketa tanah,” tulis Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016:457). Gunawan Yusuf kala itu merasa kecewa dan dia merasa membeli mobil tanpa mesin. Hingga para pembeli pun menggugat Anthony Salim bahkan BPPN.