EDDY Tansil alias Tan Tjoe Hong alias Tan Tju Fuan sudah jadi legenda aksi tipu-tipu di Indonesia. Eddy Tansil sudah terbukti merugikan negara sebesar Rp 1,3 triliun.
Sejak muda Eddy Tansil adalah pebisnis. “Tahun 1970 ia mempunyai perusahaan becak, lalu sesudah becak dilarang, ia menjadi agen motor Kawasaki namun tidak bisa bersaing dengan Yamaha dan Honda,” tulis Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008:400). Eddy Tansil lahir pada 1948 di Makassar.
Pada 1980an, Eddy ikut bisnis perakitan sepeda motor di Bekasi, dalam bendera Tunas Bekasi Motor Company (TBMC), yang merakit sepeda motor Binter (Bintang Terang) dan Bajaj.
Baca Juga:Basarnas Evakuasi 12 Penumpang Kapal Mati Mesin di Perairan WakatobiPrilly Latuconsina Ingin Fokus di Balik Layar Tahun Ini
“Pabrik itu dimiliki Eddy Tansil sebagai pabrik Binter, malah juga pabrik Bajaj. Eddy Tansil memang nakal. Semua motor sama peraturannya, semuanya harus dilokalkan — dibuat di dalam negeri. Yang lokal cuma namanya, Bintang Terang. Motor Kawasaki Binter ini ‘main kayu’ terus, mereka menyelundupkan komponen,” kata Soebronto Laras dalam Soebronto Laras, Meretas Dunia Automotif Indonesia (2005:152). Bisnis Eddy lainnya adalah bir.
“Tahun 1983, dia mendirikan PT Rimba Subur Sejahtera yang memproduksi Becks Beer yang disebut Bir Kunci di Indonesia. Rekanannya adalah pensiunan jenderal bernama Koesno Achzan Jein. Bir itu tidak dijual di Indonesia dan dikirimkan bir produksinya ke Fujian, Tiongkok,” tulis Leo Suryadinata dalam Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches 4th edition (2015:307). Dia sampai disebut Bapak Bir Fujian.
Di era 1990-an Eddy Tansil menjadi sangat terkenal. Kala itu, Eddy Tansil membangun PT Golden Key Group (GKG), perusahaan yang bergerak di bidang petrokimia. Perusahaan itu pun mengajukan kredit ke Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dan disetujui.
“Atas rekomendasi Laksamana Sudomo dan pengaruh Tommy Soeharto yang menjadi mitranya, Eddy Tansil berhasil memperoleh kredit ratusan juta dolar Amerika dari Bapindo,” tulis Benny Setiono dalam Tionghoa Dalam Pusaran Politik (2008:1063).
Rupanya terjadi mark up dari proyek-proyek yang sebagian fiktif. Kreditnya kemudian macet. Setelah Februari 1994, Ahmad Arnold Baramuli, anggota Komisi VII DPR-RI, mempertanyakan soal pinjaman Eddy Tansil yang macet itu.