Kendati demikian, penentuan genosida tidak secara otomatis melepaskan tindakan hukuman AS. Sejak Perang Dingin, Departemen Luar Negeri telah secara resmi menggunakan istilah itu enam kali untuk menggambarkan pembantaian di Bosnia, Rwanda, Irak dan Darfur, serangan ISIS terhadap Yazidi dan minoritas lainnya. Dan yang terbaru tahun lalu, atas perlakuan China terhadap Uighur dan Muslim lainnya, hal yang dibantah oleh China.
Selain itu, Menlu Blinken juga akan mengumumkan 1 juta dolar AS dana tambahan untuk Mekanisme Investigasi Independen untuk Myanmar (IIMM), sebuah badan PBB yang berbasis di Jenewa yang mengumpulkan bukti untuk kemungkinan penuntutan di masa depan.
“Ini akan meningkatkan posisi kami saat kami mencoba membangun dukungan internasional untuk mencoba mencegah kekejaman lebih lanjut dan meminta pertanggungjawaban mereka,” ungkap pejabat AS pertama.
Baca Juga:Bertemu Gibran, Pura Mangkunegaran Siapkan Konsep Pengembangan PariwisataSelama Ramadhan, KPI Larang TV Tampilkan Pendakwah dari Organisasi Terlarang dan dan Hindari Pelukan Selama Live
Terpisah, Senator AS Jeff Merkley, anggota Komite Hubungan Luar Negeri Senat yang memimpin delegasi kongres ke Myanmar dan Bangladesh pada 2017, menyambut baik langkah tersebut.
“Meskipun penentuan ini sudah lama tertunda, namun ini merupakan langkah yang kuat dan sangat penting dalam meminta pertanggungjawaban rezim brutal ini,” sebut Merkley dalam sebuah pernyataan.
Aktivis percaya, pernyataan yang jelas oleh Amerika Serikat bahwa genosida dilakukan dapat meningkatkan upaya untuk meminta pertanggungjawaban para jenderal, seperti kasus di Pengadilan Internasional di mana Gambia menuduh Myanmar melakukan genosida, mengutip kekejaman Myanmar terhadap Rohingya di Negara Bagian Rakhine.
Myanmar telah menolak tuduhan genosida dan mendesak hakim pengadilan untuk membatalkan kasus tersebut. Junta mengatakan Gambia bertindak sebagai wakil bagi orang lain, tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan kasus.
Sementara, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), pengadilan terpisah di Den Haag, Belanda juga sedang menyelidiki deportasi Rohingya dari Myanmar, dan IIMM di Jenewa sedang mengumpulkan bukti yang dapat digunakan dalam persidangan di masa depan.
Myanmar menentang penyelidikan tersebut dan menolak untuk bekerja sama, dengan menegaskan ICC tidak memiliki yurisdiksi dan bahwa keputusannya untuk meluncurkan penyelidikan dipengaruhi oleh “narasi bermuatan tragedi pribadi yang mengerikan yang tidak ada hubungannya dengan argumen hukum yang dipermasalahkan.” (*)