Ketiga, orang kaya flexing yang sebenarnya gaya hidupnya berada satu level di atas hartanya dan mereka biasanya amat berisik dan suka pamer.
Ini mudah saja menemukannya, karena mereka amat aktif di media sosial dan hampir semua harta yang dimiliki dijadikan konten media sosial.
Motifnya melakukan flexing atau pamer biasanya sebagai strategi marketing karena sedang diendorse oleh satu merek produk sehingga publik pun tertarik meniru jalan kesuksesannya. Siapa yang tidak akan tergiur dengan sosok yang masih muda, punya harta ratusan miliar.
Baca Juga:Kebijakan Moneter Amerika Serikat Pengaruhi Negara Berkembang, Termasuk Indonesia Kena ImbasBuka Suara, Begini Reaksi Xi Jinping Soal Jatuhnya China Eastern Airlines
Oleh sebab itu publik harus bisa mengidentifikasi saat ada yang pamer harta apakah orang kaya benaran atau sebatas flexing dan kebutuhan konten medsos.
Menurut Rhenald kekayaan seseorang bisa dikalkulasi dan dihitung dari mana sumbernya. Misalnya ada orang punya harta Rp150 miliar. Maka bisa dilihat usahanya apa? Seberapa besar skala usahanya, pendapatan dari usaha tersebut juga bisa ditaksir per bulan dan per tahun berapa. Lalu tinggal dibandingkan apakah masuk akal atau tidak.
Jadi kalau ada anak muda, usia baru sekitar 20 tahun, kekayaan ratusan miliar, usaha tidak terdeteksi, kalau pun ada saat dikalkulasi tak sebanding pendapatan dengan hartanya, maka ada beberapa kemungkinan.
Pertama, bisa jadi itu adalah warisan dari orang tuanya yang memang sudah kaya.
Jika dia bukan pula anak orang kaya tapi bisa punya harta berlimpah ada kemungkinan yang bersangkutan memang sedang diendorse oleh suatu produk agar terlihat kaya.
Atau bisa jadi ada orang kaya yang menitipkan harta kepadanya karena tak bisa disimpan di bank dengan alasan tertentu. (*)