“Begitu dikenakan 575 dolar, kita tidak perlu lagi DMO karena kenapa? Karena menjual di dalam negeri akan jauh menguntungkan daripada ekspor,” ucapnya.
Usai rencana kenaikan tarif ekspor sampai ke telinga pengusaha, Lutfi mengaku mendapat komplain. Kata dia, para pengusaha mengeluhkan tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan ekspor CPO ke luar negeri.
“Mereka sudah telepon saya. Mereka mengatakan ‘kok tinggi sekali biayanya’. Dalam hati saya ‘tidak nurut, ini yang kita kerjakan untuk bangsa Indonesia,” ucapnya.
Baca Juga:Geser Pesaing, TikTok Uji Coba Fitur Story Mirip Instagram dan SnapchatFP1 Moto3 Mandalika: Mario Aji Honda Team Asia Terpaut 3.173 Detik dari yang Tercepat
Menurut Lutfi, dengan adanya kenaikan tarif ekspor maka keuntungan yang akan pengusaha dapat dipotong oleh pemerintah melalui levy dari 1.000 flat menjadi 1.500 flat.
“Jadi mereka itu kepotongnya banyak. Buat mereka ini sesuatu yang sulit juga. Bukan sesuatu yang menyenangkan. Tapi kita bikin ini supaya berat sama dipikul, ringan sama dijinjing,” katanya.
Sebelumnya, anggota Komisi VI DPR RI, Amin Ak menilai keputusan pemerintah menyerahkan harga minyak goreng kepada mekanisme pasar, bukan hanya menunjukkan kegagalan mengendalikan harga dan pasokan, namun itu juga menunjukkan pemerintah lemah dihadapan kartel pangan.
Menurut Amin, pemerintah tidak mampu menegakkan aturan yang dibuatnya sendiri dan kemudian menyerah pada kemauan kartel pangan setelah drama minyak goreng yang merugikan rakyat selama enam bulan terakhir.
Lebih lanjut, Amin menilai tidak ada jaminan tidak terjadi kelangkaan minyak goreng curah di pasar tradisional berkaca pada pengalaman terkait ketidakmampuan pemerintah mengontrol harga dan pasokan selama ini.
“Wibawa pemerintah jatuh, dan ini bisa menjadi preseden buruk bahwa kartel bisa dengan mudah mendikte pasar pangan,” kata Amin, dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 17 Maret. (*)